TEMPO.CO, Surabaya - Pedagang Pasar Turi menolak mentah-mentah adendum yang ditawarkan Kejaksaan Negeri Surabaya untuk menengahi perseteruan antara pedagang dan investor. Pedagang tetap berkukuh mendesak Pemerintah Kota Surabaya segera memutus kontrak PT Gala Bumiperkasa selaku investor pembangunan Pasar Turi.
"Jangan ditunda lagi, segera putus kontraknya walaupun dengan konsekuensi," kata Adam Asyhari, salah seorang pedagang dari kelompok Paguyuban Pedagang Pasar Turi Bersatu, di sela pertemuan antara pedagang dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Jumat, 7 November 2014. (Baca berita sebelumnya: Pemkot Surabaya Batal Ambil Alih Pasar Turi)
Penolakan pedagang itu menanggapi pernyataan Risma yang menjelaskan perihal legal opinion dari Kejaksaan Negeri Surabaya dan Perhimpunan Advokat Indonesia. Pendapat itu menyebutkan perlunya negosiasi ulang atau mediasi dengan investor. Jika adendum itu tidak disetujui, akan ada upaya hukum. Konsekuensinya, Pasar Turi akan terkena status quo,sehingga para pedagang tidak bisa berjualan. Proses hukum itu juga dipastikan akan menguras energi dan waktu.
Tapi, para pedagang tetap bergeming memegang sikap. Kalaupun terjadi perundingan, Pemerintah Kota Surabaya harus menjamim status hak pedagang. Sebab, dalam penandatanganan perjanjian pengikatan jual-beli dengan investor dulu, posisi pedagang lemah. "Kami tidak boleh baca perjanjiannya, 80 persen pedagang tidak dapat salinan. Hanya diberi poin-poin," ujarnya. (Baca: KPK Telaah Dugaan Korupsi Proyek Pasar Turi )
Karena itu, apabila nantinya ada mediasi dan tambahan perjanjian, pedagang meminta Pemerintah Kota hadir sebagai pihak ketiga. Pedagang juga meminta jaminan perlindungan pedagang dari pemerasan dan pungutan liar.
Ihwal konsekuensi status quo, para pedagang mengaku siap menanggung risiko. "Kami sudah 8 tahun enggak jualan, enggak masalah kalau harus nunggu satu-dua tahun lagi," kata seorang pedagang yang tergabung dalam Persatuan Pedagang Pasar Turi Baru. (Baca: Pedagang Pasar Turi Tolak Serah-Terima Kunci)
Pemutusan kontrak investor dinilai lebih menguntungkan pedagang. Sebab, mereka tidak ingin menjadi sapi perah selama 25 tahun saat pengelolaan pasar tetap dipegang investor. Untuk menempati kios saja pedagang masih harus mengeluarkan uang sekitar Rp 30 juta sebagai deposit. Biaya deposit meliputi service charge, sinking fund, listrik, gas, dan air yang jumlahnya tergantung pada luas kios.
Menanggapi respons pedagang, Tri Rismaharini menyatakan belum bisa mengambil keputusan. Ia meminta para pedagang menuliskan keinginan mereka masing-masing dalam sepucuk surat bermaterai. Surat itu harus diterima Pemerintah Kota paling lambat 21 November 2014. Risma meminta ada 3.800 surat yang dikirim, sesuai dengan jumlah pedagang. "Buat surat keinginan masing-masing pemilik kios," katanya.
Risma mengaku tak keberatan memutus kontrak investor, seperti yang pernah ia ucapkan sebelum Lebaran lalu. Namun Risma menyadari bahwa posisi Pemerintah Kota Surabaya lemah secara hukum. (Baca berita terkait: Investor Pasar Turi Ancam Perkarakan Risma)
AGITA SUKMA LISTYANTI
Berita Terpopuler:
Yusril Ihza Kritik Tiga Kartu Jokowi
Menteri Jonan Kerja di Meja Makan, Kenapa?
Kemeja Tenabang Menteri Jonan
Jokowi: Laut Kita di Malam Hari Seperti Pasar
Ada Isu Bandara, Harga Tanah di Cikarang Selangit
BBM Belum Naik, Harga Sayur Sudah Meroket