TEMPO.CO, Yogyakarta - Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah (BAPD) mengakuisisi sebagian koleksi buku Karta Pustaka. Akuisisi dilakukan menyusul pembubaran Yayasan Karta Pustaka dengan alasan visi-misinya menciptakan kerja sama di bidang pendidikan dan kebudayaan dengan Belanda telah tercapai.
"Kami tidak mengambil alih, tapi mengakuisisi sebagian koleksi yang ada yang bermanfaat bagi masyarakat," kata Kepala BAPD DIY Budi Wibowo menjelang audiensi dengan Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X di Kepatihan Yogyakarta, Jumat, 5 Desember 2014.
Perpustakaan Karta Pustaka dibuka pada 11 Maret 1968 oleh Yayasan Karta Pustaka dengan kerja sama Kedutaan Besar Belanda di Indonesia. Jumlah koleksi bukunya pada 2009 telah mencapai 9.000 judul. Sedangkan menurut keterangan Sekretaris Yayasan, Dedy Kusuma, jumlahnya sekarang tak terhitung lagi.
Menurut Budi, sejak yayasan tersebut bubar, buku-buku koleksinya telah diakuisisi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Perpustakaan Kolese Santo Ignatius Yogyakarta. Tapi masih ada ensiklopedia dan koleksi penting lainnya. Sedangkan koleksi berupa novel dan roman dijual kepada publik. "Biar koleksi-koleksi itu tetap ada di Yogyakarta," kata Budi.
Dia menyayangkan pembubaran yayasan tersebut. Apabila pengurus yayasan sejak awal berkomunikasi dengan pemerintah, tidak tertutup kemungkinan pemerintah akan memberikan bantuan.
Anggota Dewan Pembina Yayasan Karta Pustaka Djoko Suryo mengakui bahwa persoalan utama yang membelit yayasan adalah seputar finansial. Selama ini yayasan bergantung pada bantuan Kedutaan Besar Belanda. Sedangkan Belanda sendiri tengah mengalami krisis ekonomi.
Dana bantuan yang dikucurkan saban tahun tersebut dihentikan mulai tahun ini. Dana tersebut dipergunakan untuk membayar sewa tempat dan honor karyawan. Tak hanya Karta Pustaka yang kolaps, sejumlah kerja sama dan studi Indonesia di Belanda juga diputus. "Terpaksa dalam waktu mendesak kami mengambil kebijakan untuk menutup," kata Djoko, yang juga pakar sejarah dari UGM.
Djoko tak berpikir meminta bantuan Dana Keistimewaan kepada pemerintah DIY. Sebab, organisasi tersebut nirlaba. Dia juga tidak berupaya menggalang bantuan dari pihak swasta. "Karta Pustaka kan enggak laku jual ya. Jadi orang enggak tertarik membantu," kata Djoko.
Alasan berbeda dikemukakan oleh Dedy Kusuma. Dedy membantah kabar bahwa alasan pembubaran yayasan adalah persoalan finansial. Menurut dia, alasan sebenarnya adalah visi-misi selama 50 tahun lebih yayasan tersebut sudah tercapai. Bukti pencapaiannya adalah telah ada kerja sama pendidikan di kampus ataupun lembaga kebudayaan. Alasan itu pula yang disampaikan rombongan yayasan kepada Sultan. "Bantuan dari Kedutaan Besar Belanda hanya ketika ada acara," kata Dedy.
Dedy mencontohkan pementasan kelompok musik Belanda di Yogyakarta. Kedutaan membiayai perhelatan acara dan yayasan sebagai panitia bertugas menyelenggarakan dengan mengundang publik. Dana tersebut dikelola untuk membiayai kegiatan operasional yayasan. Baik Djoko maupun Dedy tutup mulut ihwal besaran dana bantuan dari Kedutaan. "Untuk kursus bahasa Belanda masih karena peminatnya banyak. Tapi tidak di bawah yayasan. Perpustakaannya ikut bubar," kata Dedy.
PITO AGUSTIN RUDIANA
Topik terhangat:
Golkar Pecah | Wakil Ahok | Interpelasi Jokowi | Susi Pudjiastuti
Berita terpopuler lainnya:
Jokowi Untung Golkar Tolak Perpu Pilkada, Kok Bisa?
Menteri Yasonna Soal SBY: Dia Pengkhianat Duluan
Susi Beberkan Prestasi Lima Pekan Jadi Menteri
Analis: Saham 'Gocap' Bakrie Gara-gara Nama Ical