TEMPO.CO, Jakarta - Komik buatan anak muda Indonesia mulai digemari para pecinta komik lokal dan bercita-cita menjadi inkubator bagi komikus dalam negeri yang berkarya profesional dan berkualitas internasional.
Hal ini disampakkan Chris Lie, 40 tahun, komikus pendiri re:on Comics saat menerima media di kantornya, di Grogol, Jakarta Barat, pada 12 Desember 2014.
Di sana diperlihatkan proses kreatif pembuatan komik oleh para komikus di majalah kompilasi komik pertama dikelola profesional oleh Chris Lie dan Andik Prayogo dan Yudha Negara Nyoman ini.
Perusahaan ini hadir sejak 2013 dan hingga November 2014 menerbitkan 10 volume yang terbit setiap 6 minggu sekali.
Chris bercerita, pada 1970, komik di Indonesia terkenal adalah Gundala, lalu pada 1980 ada Tintin. Pada 1990 an komik nasional tak terdengar gaungnya.
Baca Juga:
Karya komikus Indonesia, seperti RA Kosasih, Teguh Santosa, dan Hans Jaladara, hilang di pasaran berganti dengan komik-komik impor seperti Doraemon, Naruto dan Candy Candy. Generasi muda lebih mengenal karakter komik impor dari Jepang.
Kenapa komik Indonesia tidak bisa maju? Menurut Chris karena penerbit komik di Indonesia belum digarap profesional dan tidak berjalan lama. "Butuh waktu dan komitmen untuk memperkenalkan yang baru," kata lulusan Teknik Arsitektur di Institut Teknologi Bandung.(Baca :Chris Lie, Komikus Indonesia Prestasi Dunia)
Ia mengaku, sempat jatuh bangun memperkenalkan komik Indonesia."Saya yakin timing belum tepat," ujar peraih beasiswa Fulbright Scholar di Savannah College of Art and Design (SCAD), Georgia, Amerika Serikat (AS).