TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta menyatakan ancaman Jamaah Ansharus Syariah untuk merazia pusat perbelanjaan yang memasang atribut Natal bertentangan dengan Bhinneka Tunggal Ika. Karena itu, Tutum memutuskan mengabaikan ancaman JAS. (Baca: Alasan JAS Ngotot Sebar Larangan Ucapkan Natal)
"Apakah dengan memakai kostum dan mengucapkan Natal, umat muslim serta-merta jadi pindah agama? Jangan terlalu picik melihat hal itu," ujar Tutum saat dihubungi, Jumat, 19 Desember 2014.
Sebelumnya, JAS menyebarkan selebaran larangan umat Islam ikut merayakan Natal. Dasar JAS melarang muslim mengucapkan selamat Natal dan penggunaan aksesori Natal adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tanggal 7 Maret 1981 yang berisi larangan penggunaan aksesori Natal, ucapan selamat Natal, serta membantu orang Nasrani dalam perayaan dan pengamanan Natal. JAS juga mengimbau agar pengusaha tidak memaksa karyawan muslim menggunakan aksesori Natal. (Baca: JAS: Larang Muslim Rayakan Natal Bukan Kejahatan)
Tutum menyatakan keputusan manajemen supermarket meminta karyawannya menggunakan kostum Natal adalah strategi bisnis dan aktivitas penjualan. Karyawan juga diminta melakukan hal serupa ketika Hari Raya Idul Fitri berlangsung. Strategi bisnis semacam itu, kata Tutum, sudah menjadi tradisi pengelola supermarket selama puluhan tahun. "Tujuannya, menghormati umat yang memperingati hari besarnya," katanya.
Lagi pula, kata Tutum, Aprindo tidak pernah mengimbau anggotanya menerapkan kebijakan tersebut. Pemasangan atribut Natal, termasuk kostum sinterklas, adalah inisiatif setiap manajemen. "Ada juga yang tidak melaksanakan kebijakan itu. Mereka (JAS) harus fair," ucap Tutum. (Baca: Soal Natal, FPI Anggap Presiden Jokowi Murtad)
ROBBY IRFANY
Terpopuler:
Dihujat FPI Soal Natal, Jokowi Dibela Ketua NU
Kisah Ahok dan Keluarga Saat Diancam Preman Pluit
Deddy Mizwar Pejabat Tajir, Punya Rekening Gendut
Pilot Dimaki Dhani, Garuda: Baru Pertama Terjadi