TEMPO.CO, Jakarta - Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan Air Asia wajib memberikan dana ganti rugi kepada keluarga korban QZ8501 meskipun perusahaan asuransi menolak membayar. “Meskipun ada isu pesawat terbang secara ilegal, AirAsia tetap wajib membayar ganti rugi,” ujarnya saat dihubungi Tempo, Rabu, 7 Januari 2015.
Menurut Hikmahanto, kewajiban membayar ganti rugi tersebut diatur dalam Pasal 141 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang menyebutkan bahwa maskapai wajib mengganti kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, ataupun luka-luka. “Air Asia wajib membayar Rp 1,25 miliar,” katanya.
Hikmahanto menjelaskan, jumlah ganti rugi tersebut sesuai dengan Pasal 3a Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Nominal Ganti Rugi Tiap Penumpang yang Meninggal Dunia.
AirAsia yang mengalami kecelakaan pada saat melakukan penerbangan internasional perlu memperhatikan sejumlah perjanjian internasional yang mengatur soal tanggung jawab angkutan udara. “Indonesia menjadi peserta Konvensi Warsawa pada 1929. Berdasarkan pasal 22, jumlah ganti rugi dibatasi hingga 125.000 franc,” ucapnya.
Namun, Hikmahanto menjelaskan, mata uang franc sudah tidak ada. Kendati demikian, nominal ganti rugi 125.000 francs itu dapat dikonversikan ke rupiah menjadi Rp 1,25 miliar.
Berdasarkan perjanjian internasional lain, yaitu Konvensi Montreal 1999, disebutkan bahwa ganti rugi maksimal adalah 100.000 Special Drawing Rights. Dalam rupiah, jumlah itu kira-kira sebesar Rp 1,8 miliar. “Namun Indonesia tidak masuk ke dalam perjanjian ini,” tutur Hikmahanto.
DEVY ERNIS
Topik terhangat:
AirAsia | Banjir | Natal dan Tahun Baru | ISIS | Susi Pudjiastuti
Berita terpopuler lainnya:
Pemandu di Bus Wisata Curhat 'Kejamnya' Ahok
Misteri Slot Air Asia, Aroma Kongkalikong Menguat
Cari Air Asia, Prajurit Cantik Juga Kangen Pacar
Isap Tiga Jenis Narkoba, Fariz RM Ditangkap Polisi