TEMPO.CO , Yogyakarta - Sidang kasus penjualan lahan Universitas Gadjah Mada semakin menguak peran orang-orang di luar yayasan Fapertagama. Saksi mantan camat Banguntapan menyebut peran dua mantan kepala desa yang terlibat aktif dalam proses penjualan aset universitas di luar pengurus yayasan.
Mantan Camat Banguntapan Bantul Hardi Purnomo saat proses jual-beli lahan menjadi pejabat pembuat akte tanah (PPAT) sementara. Ia menyebut dua mantan kepala desa yaitu Suwarno dan Abdullah Sajad pernah mendatanginya saat proses jual-beli tanah yang dilakukan oleh yayasan Pembina Pertanian (kini Fapertagama) pada 2003.
"Sepengetahuan saya, yang jual adalah Yayasan Pembina Pertanian," kata Hardi saat menjadi saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Yogyakarta, Selasa, 10 Februari 2015.
Ia menyebutkan, pada 2003, selaku pejabat pembuat akta tanah memproses akta jual-beli lahan seluas 1.379 meter persegi yang berada di Desa Banguntapan. Lahan itu dijual oleh yayasan kepada warga yang bernama Sampurno.
Suwarno yang saat sudah mantan kepala desa dan Abdullah yang menggantinya bersama tiga tersangka yaitu Toekidjo, Triyanto, dan Ken Suratiyah mendatangi camat. Juga satu orang dari pihak pembeli untuk proses jual beli lahan.
Para tersangka kasus yang merugikan negara Rp 11,2 miliar itu datang dan memproses jual-beli selaku pengurus yayasan. Itu atas kuasa dari ketua yayasan ex officio dekan Fakultas Pertanian saat itu Susamto yang kini juga tersangka. "Syarat dan dokumen kami nilai sudah memenuhi syarat. Maka diterbitkan akta jual-beli, satu akta dipegang pembeli dan satu lagi untuk penjuak," kata mantan camat itu.
Sebelumnya, jaksa juga sudah mengungkapkan soal penjualan lahan seluas 1.379 meter persegi di Banguntapan itu. Yaitu dengan harga Rp510 juta kepada Sampurno. Selain itu juga lahan seluas 4.073 dijual kepada PT Gema Cipta Artindo selaku pengembang perumahan pada 2005 seharga Rp 2,08 miliar. Tidak hanya itu lahan yang diyakini milik universitas seluas 455 meter persegi dijual ke Siswadi pada 2007 seharga Rp 136,5 juta. Yayasan itu bukan institusi langsung milik Universitas Gadjah Mada tetapi sekumpulan dosen fakultas Pertanian.
Hardi menambahkan, saat itu tanah tersebut masih tanah adat sehingga tidak bisa menggunakan Undang-udang Pokok Agraria (UPA). Maka jual-beli disaksikan kepala desa. Ia mengaku tidak memeriksa dokumen secara detail karena sudah percaya kepada kepala desa.
Namun, keterangan mantan camat Banguntapan itu dibantah oleh tersangka Toekidjo. Ia menyatakan tidak pernah mendatangi camat saat itu. "Saya tidak ke kantor camat," kata Toekidjo.
Saksi lain dari pihak yayasan yaitu mantan bendahara, Suhatmini. Ia mengungkapkan penjualan lahan di Plumbon Banguntapan merupakan keputusan bersama antar pengurus. Uang hasil penjualan pun masuk ke rekening yayasan. Hasil dari penjualan lalu dibelikan dua lahan di Wukirsari, Cangkringan ,Sleman seharga Rp 625 juta.
Sidang yang dipimpin oleh hakim Sri Mumpuni dijadwalkan kembali pada Selasa minggu depan. Agendanya masih sama yaitu mendengarkan keterangan para saksi.
MUH SYAIFULLAH