TEMPO.CO, Jakarta - Pakar teknik hidrologi dari Universitas Gadjah Mada, Budi Santoso Wignyosukarto, menganalogikan rumah pompa air ibarat jantung bagi DKI Jakarta untuk mengatasi banjir. "Jakarta tak dapat hidup tanpa pompa," kata Budi saat dihubungi Tempo, Selasa, 10 Februari 2015.
Banjir menerjang Jakarta sejak Senin. Hujan dengan intensitas sedang yang mengguyur sejak pagi hingga malam hari menciptakan 93 titik genangan. Bahkan Istana Negara tak luput dari banjir. Selain turunnya hujan sepanjang hari, banjir Jakarta juga dipicu pemadaman 469 gardu listrik yang dilakukan PLN. Salah satu gardu yang dipadamkan menyuplai listrik ke rumah pompa di Pluit, Jakarta Utara.
Budi menambahkan, lanskap Kota Jakarta mutlak memerlukan pompa untuk membuang genangan air ke laut. Sebab, waduk yang ada tak mungkin mampu menampung curah hujan yang datang sepanjang hari. Lebih-lebih, waduk berada lebih rendah dibandingkan permukaan laut. Dengan demikian, bila cuma mengandalkan elevasi dataran, kecepatan air buangan cenderung kecil. "Rumah pompa memberi tambahan dorongan untuk membuang air waduk ke laut," tuturnya.
Budi merasa heran bila pasokan listrik ke rumah pompa diputus oleh PLN. Sebab, rumah pompa didesain untuk tetap berfungsi meski banjir menerjang. Hal itu mencakup struktur rumah pompa dan gardu listrik di sekitarnya yang wajib kedap air. "Harus diperhatikan suplai listriknya," katanya.
Selain itu, rumah pompa tak boleh luput dari perawatan rutin. Sebab, posisinya yang berada di dekat laut sangat riskan mengalami korosi dan adanya sampah yang menyangkut. Apalagi, kata Budi, pompa merupakan teknologi yang hanya dipakai satu kali dalam setahun, yakni saat musim hujan. Dengan demikian, pengecekan pada komponen pompa harus terjadwal dengan baik. "Ronda di atas tanggul bisa jadi solusi perawatan pompa," Budi menjelaskan.
RAYMUNDUS RIKANG