TEMPO.CO, BEKASI - Pemerintah Kota Bekasi kewalahan mencari lokasi untuk dijadikan pasar induk di wilayah setempat. "Pasar induk mempengaruhi harga barang di pasaran," kata Sekretaris Dinas Perekonomian Rakyat Kota Bekasi Deded Kusmayadi, Ahad, 1 Maret 2015.
Deded menambahkan, selama ini sejumlah ibu-ibu mengeluhkan harga kebutuhan pokok khususnya sayuran cukup tinggi dibanding daerah lain. Harga yang berbeda itu lantaran tak ada hasil bumi dari petani yang langsung masuk ke Kota Bekasi. "Karena kami tidak mempunyai pasar induk," kata dia.
Deded menyebutkan, sejumlah kebutuhan sayur-mayur dan lainnya dipasok dari Pasar Induk Cibitung di Kabupaten Bekasi, dan Pasar Induk Kramat Jati di Jakarta Timur. Karena itu, harga sudah berbeda. "Masuk ke pasar di Kota Bekasi sudah tangan ke dua. Ini yang menjadikan harga lebih tinggi," kata dia.
Ia mengatakan, sebagai alternatif pihaknya mengusulkan Pasar Bintara di Kecamatan Bekasi Barat sebagai pasar induk. Tapi, luas pasar tersebut dianggap kurang memenuhi syarat sebagai pasar induk. "Di Bintara luasnya 1,2 hektare," kata dia. "Sedangkan minimal untuk pasar induk dibutuhkan luas lahan 2-5 hektare."
Menurut Deded, pihaknya akan terus mengupayakan berdirinya pasar induk di Kota Bekasi. Deded mengaku tengah mempertimbangkan adanya lahan seluas lima hektare yang ada di Kecamatan Jatisampurna. "Masih dibahas lagi, soalnya letaknya cukup jauh dari pusat kota," kata Deded.
Deded menambahkan, ada 12 pasar tradisional yang dikelola pemerintah antara lain, Pasar Baru, Kranji, Jatiasih, Bantargebang, Kranggan, Family, Wisma Asri, Harapan Jaya, Bekasi Junction, Kranji Pertokoan, Pondok Gede, dan Pasar Bintara.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi Tumai mengatakan pemerintah dimintai mencari lahan yang representatif untuk dibangun pasar induk. Sebab, keberadaan pasar induk dapat mengurangi beban masyarakat. "Sudah seharusnya Kota Bekasi punya pasar Induk," katanya.
ADI WARSONO