TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Kelaikan dan Pengoperasian Pesawat Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Muzaffar Ismail menampik adanya dugaan bahwa saat terjadi delay parah Lion Air Tahun Baru Imlek Februari lalu, rasio antara tersedianya pesawat dan jumlah penerbang maskapai itu tak memadai.
Menurut Muzaffar, rasio pesawat dan pilot Lion masih 3,5, yakni ada 93 pesawat yang siap beroperasi dengan 723 penerbang. Artinya, ada masing-masing 3,5 pasang penerbang untuk mengoperasikan 1 pesawat jika dipukul rata terdapat 100 pesawat yang siap terbang.
"Idealnya, nggak boleh lebih dari duty time penerbang. Untuk rasio segitu, masih cukup," kata Muzaffar di kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta, Selasa, 10 Maret 2015.
Selama tiga hari, Rabu, 18 hingga Jumat pagi, 20 Februari 2015, menurut Direktur Operasional PT Angkasa Pura II (Persero) Djoko Murdjatmojo, total ada 44 penerbangan Lion Air yang mengalami delay, penundaan atau bahkan pembatalan penerbangan.
Berdasarkan catatan Tempo, penerbangan Lion Air dari Bandara Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten baru mulai normal pada Minggu, 22 Februari 2015.
Kementerian Perhubungan hari ini telah menyelesaikan audit terhadap Lion Air. Hasilnya, menurut Muzaffar, delay panjang Lion Air saat Tahun Baru Imlek pada Februari lalu salah satunya karena tak sinkronnya koordinasi antara bagian operasional pesawat dengan pemasaran. Lion menjual banyak tiket ketika Tahun Baru Imlek di saat ketersediaan pesawat yang siap operasi tak memadai. "Kalau marketing dan operasi nggak sinkron, pasti terjadi kekacauan," kata Muzaffar.
Atas temuan itu, menurut Muzaffar, Kementerian Perhubungan sudah meminta Lion Air Group untuk memisahkan antara operasional dan marketing maskapai digarap oleh masing-masing anak perusahaan Lion, yaitu Lion Air, Batik Air, dan Wings Air. Adapun saat delay terjadi, semua operasional dan marketing grup Lion dipegang oleh Integrated Operation Control Center Lion Air Group.
KHAIRUL ANAM