TEMPO.CO, Surabaya-Ratusan perwakilan eksportir dan asosiasi pengusaha menghadiri pertemuan pertama deklarasi Asia Shippers Alliance (ASA) di Surabaya. Deklarasi itu merupakan buah kolaborasi perwakilan eksportir se-Asia dan Eropa untuk memperkuat kerja sama di bidang logistik.
"Kami berkolaborasi dengan shippers atau eksportir se-Asia dan Eropa supaya memiliki posisi tawar ketika ada masalah dengan pelayaran dan pelabuhan di masing-masing negara," kata Ketua Dewan Pemakai Jasa Angkutan Indonesia (Depalindo) Toto Dirgantoro di Hotel Shangri-La Surabaya, Rabu, 18 Maret 2015.
Toto menambahkan, upaya peningkatan ekspor berkaitan erat dengan permasalahan logistik. Maka, negara yang mampu menguasai distribusilah yang produknya bisa bersaing di pasar global. Aliansi diharapkan turut meningkatkan daya tawar guna mengatasi permasalahan terkait praktik kartel pelayaran internasional. "Supaya ada bargaining saat menembus ke masing-masing negara. Ini untuk menekan high cost economy dan logistik di negara masing-masing," ujarnya.
Dalam deklarasi tersebut, Depalindo menggandeng Ombudsman untuk mengawasi pelayanan publik. Tak terkecuali Ombudsman di negara-negara anggota ASA, seperti Korea Selatan, Hongkong, Thailand, Macau, Bangladesh, termasuk Uni Eropa. Dengan begitu, pihaknya bisa melaporkan setiap pelayanan publik yang dianggap membebani eksportir ke Ombudsman.
Toto menyebutkan beberapa permasalahan pelabuhanan yang membebani, seperti kelancaran arus barang, dwelling time yang menyebabkan barang bertumpuk, hingga high cost economy. "Diharapkan dengan aliansi ini kami membangun Asia secara bersama-sama," ujar Toto.
Ketua Ombudsman Republik Indonesia Danang Girindrawana menuturkan masih banyak kebijakan publik yang meninggalkan publik. Padahal sejak dilahirkan pada 2011, undang-undang mengamanatkan adanya partisipasi publik dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Akibatnya, pemerintah tidak tahu masalah-masalah aktual yang menjadi kepentingan publik. "Saat ini pemerintah masih menganggap publik sebagai sebuah obyek pengaturan, bukan satu tubuh dengan pemerintah," ujar Danang.
Berkaitan dengan logistik, Ombudsman merekomendasikan lima prinsip penting kepada pemerintahan Joko Widodo. Pertama ialah kawasan kepabeanan yang steril. Kedua, pelayanan terpadu satu pintu di pelabuhan untuk mencegah pungutan liar dan ketidakjelasan waktu pelayanan.
Ketiga, proses otoritas tunggal atau single authority. "Sekarang ini di pelabuhan terlalu banyak 'gubernur'. Ada Otoritas Pelabuhan, Pelindo, Syahbandar, Bea Cukai dan lain-lain. Kami minta diselenggarakan satu otoritas tunggal," kata Danang.
Keempat, meminta pelabuhan agar mengedepankan proses pemeriksaan karantina. Pentingnya proses karantina di awal berkaca dari pengalaman kasus apel impor jenis Granny Smith dan Gala beberapa waktu lalu. "Ke depan karantina harus melakukan pemeriksaan di depan dibadingkan bea cukai."
Adapun kelima ialah adanya ada standar-standar pelayanan publik di seluruh pelabuhan Indonesia. Jokowi, kata Danang, telah menyetujui kelima rekomendasi itu dan menugaskan Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Susilo untuk menindaklanjuti.
ARTIKA RACHMI FARMITA