TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengaku bingung setelah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan swastanisasi air.
Ahok bingung karena belum ada kekuatan hukum tetap bagi putusan tersebut. "Kalau mereka, Palyja dan Aetra, banding, kami tak bisa eksekusi putusan hakim," ujar Ahok di Balai Kota, Rabu, 25 Maret 2015.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) pada Selasa malam, 24 Maret 2015. Menurut hakim ketua, Iim Nurokhim, pemerintah bersama PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra) menyalahi aturan dalam pengelolaan air di DKI.
Dalam putusan tersebut, hakim juga membatalkan perjanjian kerja sama antara PAM Jaya dan Palyja serta Aetra yang dimulai sejak 1997. Atas putusan itu, Palyja dan Aetra akan mengajukan banding.
Ahok mengungkapkan, jika Palyja dan Aetra mengajukan banding hingga arbitrase internasional dan ternyata dinyatakan menang, pemerintah DKI akan dikenakan denda sekitar Rp 3-4 triliun untuk setiap perjanjiannya. "Kalau pemerintah DKI dinyatakan kalah, kami harus membayar denda yang cukup mahal," katanya.
Sedangkan untuk mencapai keluarnya putusan dari arbitrase internasional, Ahok mengimbuhkan, perlu waktu sekitar 2-3 tahun. Menurut dia, dalam jangka waktu tersebut, Palyja dan Aetra bisa bertindak seenaknya dengan menurunkan pelayanan dan meninggalkan kerugian yang harus ditanggung oleh PAM Jaya. "Akhirnya warga DKI yang akan dikorbankan," ucap Ahok.
GANGSAR PARIKESIT