TEMPO.CO, Jakarta - Tidak semua negara bisa menerima kehadiran Twitter. Jejaring sosial ini kerap dianggap sebagai pengganggu jalannya pemerintahan di sejumlah negara, seperti Cina, Korea Utara, dan Iran. Lantas, bagaimana tanggapan Chief Executive Twitter Dick Costolo terhadap hal tersebut?
"Saya beberapa kali ke Cina dan mengharapkan pemblokiran dihapus," ujarnya dalam wawancara eksklusif di Jakarta, Kamis, 26 Maret 2015.
Costolo juga mengatakan Twitter sudah berupaya melakukan pembicaraaan dengan otoritas lokal untuk membuka blokir. Sayangnya, hingga kini upayanya belum membuahkan hasil.
Sebagai pengganti Twitter, pengguna Internet di Negeri Tirai Bambu menggunakan jejaring sosial dengan konsep serupa bernama Weibo. Weibo pun tidak sepenuhnya bebas karena terdapat aturan sensor dari pemerintah dan administrator.
Costolo berharap di masa depan Twitter dapat diterima oleh setiap negara. "Saya percaya Twitter bisa menjadi tempat berkomunikasi terbaik di dunia," ucap dia.
Pemblokiran yang dilakukan terhadap Twitter di Korea Utara bukan merupakan hal yang aneh. Negara ini memang memiliki peraturan yang ketat terhadap akses informasi dan Internet, khususnya yang berasal dari negara-negara Barat.
Sedangkan di Iran, pemblokiran dilakukan sejak 2009, bertepatan dengan pemilihan umum. Pemerintah Iran khawatir Twitter bakal dijadikan sarana protes bagi para penentang pemerintah. Negara lain yang juga sempat memblokir Twitter adalah Mesir, Turki, dan Pakistan.
SATWIKA MOVEMENTI | KHAIRUL ANAM | BBC