TEMPO.CO, Yogakarta - Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta belum memiliki regulasi yang cukup untuk mengendalikan alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman, termasuk pembangunan hotel dan apartemen. "Lewat RTRW (peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah) saja belum bisa," kata Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, Energi, dan Sumber Daya Mineral DIY Hananto Hadi Purnomo, Jumat, 27 Maret 2015.
Dokumen RTRW mengggambarkan fungsi lahan secara umum. Satu sentimeter di peta mewakili 1 kilometer kondisi sebenarnya. Untuk memperjelas fungsi lahan dan penggambaran yang lebih detil tentang suatu kawasan, maka butuh penjabaran melalui Rencana Detil Tata Ruang. Skalanya lebih rinci, yakni satu sentimeter banding 50 meter.
Baca Juga:
Menurut dia, pemerintah kota dan kabupaten semestinya menindaklanjuti desain tata ruang umum (RTRW) itu dengan rencana yang lebih detil. Sayangnya, belum semua daerah di DIY memilikinya. Sehingga untuk mencegah potensi kesalahan pemberian izin pendirian bangunan, ucapnya, pada 2014 lalu Gubernur DIY menerbitkan peraturan. "Untuk pemberian izin yang meragukan harus dibicarakan dulu dengan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah," katanya.
Badan ini dibentuk di tingkat pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Ketuanya sekretaris daerah dan sekretarisnya Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Mekanisme perizinan itu dibentuk, salah satunya, untuk mencegah permainan pengusaha nakal membangun hotel di daerah yang belum memiliki rencana detil ruang ruang. "Butuh waktu tiga tahun untuk menyusun RDTR setelah RTRW," katanya.
Beberapa personel Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi menggelar rapat dengan pegawai di sejumlah satuan kerja perangkat daerah di komplek pemerintahan DIY, Kepatihan, Kamis kemarin. Mereka mengumpulkan data dan mencermati proses perizinan alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman, termasuk hotel. "Baru mempelajari data lahan pangan, bukan (menjalankan) fungsi penindakan," kata Kepala Dinas Pertanian DIY Sasongko, Jumat siang.
Sasongko dan Hananto merupakan peserta yang hadir dalam pertemuan tim komisi anti rasuah itu. Sejumlah media massa lokal hari ini memberitakan pertemuan itu erat kaitannya dengan dugaan maraknya pembangunan hotel di Yogyakarta. "Mereka ingin lihat apakah DIY siap dengan ketahanan pangan," kata Hananto, tentang materi pertemuan itu.
Sasongko mengatakan lahan pertanian DIY mencapai 55 ribu hektar. Seluas 35 ribu hektar di antaranya telah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Lahan pertanian itu tersebar di empat kabupaten di DIY, yakni Sleman, Gunungkidul, Bantul, dan Kulonprogo. Sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011, sebanyak 12 hektar lahan itu berada di Bantul dan di Sleman 13 hektar. Adapun Kulonprogo dan Gunungkidul, masing-masing 5 hektar.
Anggota DPRD DIY Aslam Ridlo mengatakan dengan ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan, sawah dan ladang tak bisa sembarangan beralih fungsi, bahkan menjadi pemukiman oleh pemiliknya. "Mestinya pemerintah kabupaten menindaklanjuti dengan menentukan titik mana saja lahan itu," katanya.
Kendala lain penerapan perda itu, ia melanjutkan, adalah insetif dari pemerintah pada pemilik lahan. "Lahan tak boleh beralih fungsi. Syaratnya juga harus ada kesediaan dari pemiliknya," katanya.
ANANG ZAKARIA