TEMPO.CO, Jakarta - Para budak anak buah kapal di Pulau Benjina awalnya direkrut para makelar tenaga kerja di Myanmar atau Kamboja untuk kapal-kapal nelayan Thailand. Para buruh migran yang miskin itu tidak tahu bahwa mereka akan bekerja di tempat berbahaya dan tidak pernah pulang.
Para makelar ini semakin sulit merekrut buruh migran dalam beberapa tahun terakhir. Mereka lantas melakukan cara-cara kejam, seperti penculikan. Mereka merekrut anak-anak dan orang cacat, berbohong tentang upah bahkan membius para buruh migran.
Rantai perbudakan itu diungkap kantor berita Associated Press dalam laporannya berjudul “Was Your Seafood Caught By Slaves?” pada 25 Maret 2015. AP memaparkan bagaimana perlakuan tidak manusiawi diterima para ABK di Benjina.
AP menulis agen buruh migran lalu menjual mereka sebagai budak ke Thailand. Untuk setiap budak biasanya dibayar sekitar US$ 1.000. Selanjutnya mereka dipaksa bekerja dengan upah yang tidak diberikan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, atau tidak dibayar sama sekali.
Pekerja ilegal itu diberi dokumen palsu. Dengan dokumen palsu itu pula mereka bisa masuk wilayah Indonesia.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan akan menginvestigasi dan menindak tegas pelaku praktek perbudakan anak buah kapal. Susi tidak segan membekukan izin perusahaan yang terlibat kejahatan, baik pencurian ikan maupun perbudakan, usaha perikanan. “Kami akan bekukan izinnya,” kata Susi di kediamannya di Pangandaran, Jawa Barat, kemarin.
Ia membenarkan ada perbudakan ABK yang dilakukan PT Pusaka Benjina Resources (PBR) di kapal-kapal yang beroperasi di Pulau Benjina, perairan Aru, Maluku. Namun, menurut dia, PBR merupakan perusahaan penanaman modal asing yang beroperasi untuk perusahaan asal Thailand.
Susi mengaku kecewa ada perusahaan Indonesia yang memfasilitasi kejahatan itu. Ia telah berkoordinasi dengan Kepolisian RI dan pemerintah daerah untuk menjerat PBR. Kedutaan Besar RI di Bangkok juga mengawal kasusnya di Thailand.
AGUSSUP | DEVY ERNIS | AP