TEMPO.CO, Jakarta - Keberhasilan Sasa Darfika, 21 tahun, yang bekerja di warung Tegal (warteg) milik orang tuanya di sisi Jalan Parapatan Raya, Majalengka, menjadi sorotan publik. Warteg yang buka setiap hari selama 24 jam itu rata-rata melayani 300 orang lebih setiap hari. Sebulan dua kali, Sasa sanggup membeli barang seharga total Rp 1,5-2 juta lebih dari usahanya itu.
Bagaimana rahasia sukses mengelola warteg? Pengurus Paguyuban Warung Tegal, Arief Muktiono, mengatakan, pada dasarnya, untuk menarik pembeli, pengusaha warteg tak perlu merenovasi kiosnya. Menurut dia, warteg ialah representasi warung makan untuk masyarakat kelas bawah.
"Warteg itu sudah menggambarkan segmen pengunjungnya," ujar Arief ketika dihubungi Tempo, Senin, 30 Maret 2015.
Arief mencontohkan, ada sebuah warteg di kawasan Pulogebang, Jakarta Timur, yang memiliki kios dengan bangunan mentereng tapi justru sepi pembeli. Dia mengatakan sepinya pembeli di warteg tersebut lantaran banyak sopir, kernet, dan buruh pabrik yang khawatir jika makan di sana akan dikenai tarif tinggi.
Arief menjelaskan, jika pengusaha warteg mampu membangun rumah mewah di kampung halamannya, seharusnya bukan hal yang sulit bagi pemilik warteg untuk merenovasi kiosnya. Namun hal itu, kata dia, tak dilakukan karena mereka takut tak ada yang beli.
Arief berujar, keberadaan warteg di Jakarta akan selalu diminati karena jumlah masyarakat kelas bawah lebih besar dibandingkan dengan masyarakat kelas menengah ke atas. Menurut dia, jangan membandingkan warteg di Jakarta dengan warteg di Majalengka, Jawa Barat, yang memiliki pelayan cantik bernama Sasa Darfika.
"Mungkin warteg di Majalengka bisa ramai karena ada pelayan cantiknya, namun di Jakarta warteg sudah sangat tersegmen," ujarnya.
Adapun popularitas Sasa sebagai gadis pelayan cantik mendongkrak penghasilan warteg orang tuanya di sisi Jalan Parapatan Raya, Majalengka, Jawa Barat. "Sebulan ini omzet naik sekitar 30 persen," kata orang tua Sasa, Darpi.
GANGSAR PARIKESIT | ANWAR SISWADI