TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Amrta Institute dan Peneliti Sumber Daya Air, Nila Ardhianie, mengatakan DKI Jakarta punya kesempatan besar mengelola air yang selama ini dipegang oleh pihak swasta. Karena, ada 234 kota di berbagai negara yang berhasil mengambil kembali pengelolaan air dari swasta ke pemerintah.
Salah satu kota yang paling sukses adalah Paris, Prancis. Setelah 25 tahun dipegang perusahaan swasta, yakni Veolia dan Suez (Palyja), pengelolaan air diambil alih pemerintah pada 2009. Setahun kemudian, pada 2010 Paris membentuk perusahaan publik Eu de Paris untuk mengelola air.
"Awalnya, masyarakat ragu. Setelah empat tahun berjalan tarif air bisa turun," katanya kepada Tempo, Kamis, 9 April 2015. Pemerintah Paris, ujar Nila, juga mendapat berbagai keuntungan lain dari peralihan pengelolaan air ini. Seperti, menghemat uang 35 juta euro atau sekitar Rp 485 miliar per tahun, keuangan lebih transparan.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan swastanisasi air pada 24 Maret 2015. Hakim ketua Lim Nurokhim mengatakan, pihak pengelola air di Jakarta yaitu, PT Aetra Jakarta dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), dianggap melanggar hukum.
"Kami pun menyatakan perjanjian kerja sama yang dibuat Direktur PDAM DKI dengan PT Thames PAM Jaya (sekarang Aetra) yang dibuat pada 6 Juli 1997, dan diperbarui pada 28 Januari 1998, serta 22 Oktober 2001, beserta seluruh adendumnya batal dan tak berlaku," ucap Iim.
Putusan hakim itu langsung direspons oleh Aetra dan Palyja. Keduanya langsung mengambil sikap mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, mengatakan pemerintah belum bisa mengambil sikap karena belum ada keputusan hukum yang tetap.
Menurut Ahok, jika Palyja dan Aetra mengambil langkah lain dengan mengajukan arbitrase internasional dan mereka dinyatakan menang, pemerintah DKI akan dikenakan denda Rp 3-4 triliun. Langkah arbitrase itu pun bisa memakan waktu 2-3 tahun. "Dalam jangka waktu itu, dikhawatirkan operator air bertindak seenaknya dengan mengorbankan warga DKI," kata dia Rabu, 25 Maret lalu.
Nila mengatakan, jika pengadilan tinggi menguatkan putusan pengadilan negeri, Ahok bisa melakukan beberapa langkah. Salah satunya, mediasi. Menurut dia, jika operator meminta ganti rugi, Pemerintah DKI bisa membayar dengan harga yang masuk akal. Jika harga yang diminta Rp 2 triliun, itu harga yang murah dengan total 9 juta warga Jakarta. "Di Kuala Lumpur saja bayar Rp 29 triliun dan warganya lebih sedikit dari Jakarta," kata dia.
Pemerintah DKI juga bisa menekan operator dalam negosiasi itu jika harga yang diminta tidak masuk akal. Karena, sudah dikuatkan dengan pembatalan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. "Mereka mau enggak mau harus angkat kaki," katanya. "Hanya pemerintah yang memegang peranan kunci pengelolaan air."
Penasihat Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Bidang Air dan Sanitasi, David Boys, mengatakan privatisasi air itu janji palsu. Pihak swasta hanya berpikir mencari keuntungan maksimal dengan memberi fasilitas dan kualitas minim. "Di beberapa negara, pihak swasta yang mengelola air juga sering menggadaikan surat perjanjian dengan pemerintah ke bank untuk mendapat pinjaman uang. Padahal, perusahaan itu tidak punya modal," katanya.
HUSSEIN ABRI YUSUF