TEMPO.CO, Bangkalan - Tumpukan surat dalam 48 lembar kertas HVS itu tertata rapi di dalam sebuah almari di kamar Syarifuddin, 22 tahun. "Surat itu untuk ibu saya," kata Syarifuddin kepada Tempo, Kamis, 16 April 2015.
Ibu yang dimaksud Syarifuddin adalah Siti Zaenab binti Duhri Rupa, buruh migran Indonesia yang dieksekusi mati di Kota Madinah, Arab Saudi, pada Selasa siang, 14 April 2015, atas kasus pembunuhan terhadap majikannya pada 1999.
Meski tak akan pernah diterima ibunya, surat itu akan disimpan Syarifuddin sebagai kenangan. Surat itu adalah bukti betapa dia sayang kepada ibunya, betapa Syarifuddin ingin ibunya bebas dari hukuman qisas. "Surat itu bukan surat rindu, tapi surat itu adalah perjuangan untuk menyelamatkan ibu," ujar Syarifuddin.
Syarifuddin kini berjualan miniatur celurit di Pasarean KH Mohamad Kholil, ulama kharismatik Bangkalan, yang hanya berjarak 50 meter dari rumahnya. Syarifuddin menuturkan surat itu dibuat sepanjang Maret-April 2015 setelah dia pulang dari menemui ibunya di penjara Kota Madinah.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu Mohammad Iqbal membenarkan ihwal surat yang dibuat Syarifuddin. "Ya, Syarif memang membuat surat untuk menolong ibunya, tapi sudah terlambat," katanya saat mengunjungi rumah duka, Rabu, 15 April 2015.
Baca Juga:
Kata Iqbal, upaya pemerintah untuk membebaskan Zaenab dari hukum qisas sudah maksimal. Namun orang yang dijatuhi hukuman qisas di Arab Saudi hanya bisa bebas bila mendapat maaf dari keluarga korban. Bahkan Raja Arab Saudi sekalipun tidak bisa menolong Zaenab. "Sudah berulang kali negosiasi, tapi ahli waris korban menolak," kata Iqbal.
Siti Zaenab dihukum pancung karena kasus pembunuhan terhadap majikannya, Nouroh bin Abdullah, pada 1999. Meski pembunuhan itu terjadi karena Zaenab membela diri, Pengadilan Tinggi Madinah tetap memvonis Zaenab bersalah dan menjatuhkan hukuman qisas pada Juli 2001. Sebelumnya, Zaenab ditahan di penjara umum Madinah sejak 5 Oktober 1999.
MUSTHOFA BISRI