TEMPO.CO , Jakarta: Jully Tjindawan, 43 tahun, pendiri dan pemilik PT Robotic Explorer, awalnya tak pernah membayangkan bakal menggeluti usaha di bidang robotik. Alumnus Fresno State University, California, Amerika Serikat, itu bahkan tak akrab dengan berbagai perangkat teknologi.
”Saya enggak suka banget sama gadget,” katanya. ”Tugas akhir kuliah saja saya tulis tangan.”
Perkenalan Jully dengan dunia robot terjadi secara tak sengaja. Semua berawal dari niat Jully memperkaya alat peraga di King’s Kids, lembaga kursus bahasa Inggris dan bimbingan belajar yang dia kelola.
Untuk itulah Jully memesan perangkat eksperimen sains anak-anak dari Jerman. Namun dia mempercayakan pemesanan perangkat uji coba itu kepada rekan bisnisnya.
Jully terkaget-kaget ketika pesanan barang tiba pada Agustus 2005. Soalnya yang datang bukan perangkat eksperimen biologi atau fisika seperti yang dia bayangkan.
Sang teman rupanya memesan satu kontainer robot. ”Pertama kali melihat barang itu, saya sampai menangis,” ujar Jully.
Kala itu ia teringat nasihat bapaknya bahwa berbisnis itu bukan mencari masalah. ”Yang kita mengerti saja belum tentu bisa, apalagi yang tidak kita pahami,” kata Jully, menirukan nasihat sang ayah.
Telanjur mengeluarkan dana hampir Rp 600 juta untuk satu kontainer robot itu, Jully tak mau larut dalam kebingungan. Dia pun merintis PT Robotic Explorer.
Tentu saja tak mudah membangun usaha yang waktu itu masih terbilang ”asing” tersebut. Tenaga kerja lokal yang paham robot pun sangat terbatas. Koneksi keluarga Jully -yang lama berkecimpung dalam usaha tekstil - juga tak banyak membantu.
Pada tahun-tahun awal, Jully sampai terjun langsung menawarkan program robotik ke sekolah-sekolah. Namun sekolah yang berminat pada tawaran pelajaran robotik bisa dihitung jari. Proposal Robotic Explorer pun kerap kandas pada tahap penjajakan.
Sembari mencari-cari mitra, Jully belajar merakit robot sederhana. Dia juga menyusun sendiri kurikulum pelajaran robotik. Untuk sekolah yang ingin mengadakan ekstrakurikuler robotik, Jully menyediakan perangkat robot dan tenaga pengajar. Sekolah juga bisa membeli perangkat robot dari Robotic Explorer. Ada juga paket pelatihan untuk para guru, sehingga sekolah bisa menggelar program robotik secara mandiri.
Semua kerja keras Jully itu tak sia-sia. Dari tahun ke tahun, sekolah yang menjadi mitra Robotic Explorer terus bertambah. Bukan hanya sekolah nasional yang bersedia bekerja sama. Sejumlah sekolah bertaraf internasional di Jakarta pun menjadi rekanan Robotic Explorer.
Seiring dengan perjalanan waktu, koleksi robot kian bertambah. Sebagian di antaranya berharga ratusan juta rupiah. Misalnya robot Darwin produksi Korea Selatan, yang berharga US$ 12 ribu (sekitar Rp 155 juta) per buah. Ada pula robot NAO produksi Prancis seharga US$ 7.990 (sekitar Rp 103 juta) per unit. Meski koleksi robotnya kian mahal, Jully mengklaim tetap mempertahankan tarif kerja sama yang ”terjangkau”.
BERNADETTE CHRISTINA MUNTHE