TEMPO.CO, Yogyakarta - Masyarakat Yogyakarta menyebutnya “tongseng jamu”. Namun jangan dikira makanan ini terbuat dari daun atau rempah layaknya jamu. Tongseng jamu ini berbahan dasar daging anjing. Penggemar sajian kuliner khas ini sering menyebutnya sengsu alias tongse asu (anjing).
Pada Sabtu pekan lalu, Tempo mendatangi warung penjual tongseng jamu di Dusun Kanutan, Srimulyo, Bambangliluro, Bantul. Di tempat ini, ada tiga warung makan penjual tongseng jamu. Salah satu pemiliknya adalah Sukijo. Lelaki 68 tahun ini sudah berjualan tongseng anjing sejak 1979.
Sekitar pukul 15.00, Tempo mendatangi warung dan Sukijo sedang merapikan dagangannya. “Sudah habis, baru nunggu yang nyetori dari Purworejo,” katanya. Beberapa calon pembeli yang datang langsung balik kanan. Hari itu dia hanya menyembelih dua ekor anjing dan langsung ludes. “Stok (anjing) terakhir hari ini.”
Untuk kebutuhan usahanya, Sukijo mendapatkan pasokan anjing dari Purworejo, Wonosobo, dan Temanggung. Seekor anjing ia tebus dengan harga Rp 250-300 ribu. “Tergantung beratnya,” tuturnya. Dia hanya pembeli anjing dengan berat di atas 10 kilogram. Sebab, anjing seberat itu hanya menghasilkan sekitar 4,5 kilogram daging yang layak dimasak.
Dalam sehari, warung makannya paling sedikit menyembelih dua ekor anjing. Satu porsi tongseng dihargai Rp 15 ribu. "Kalau pas liburan yang datang bisa berlipat-lipat. Dari luar kota banyak, mobil itu berderet-deret di depan rumah," ucap Sukijo.
Kalangan pencinta binatang mengecam perdagangan binatang peliharaan ini. Pada April lalu, Animal Friends Jogja (AFJ) menggelar aksi di kawasan Nol Kilometer Kota Yogyakarta. Menurut Program Manajer AFJ Angelina Pare, perdagangan daging anjing di Yogyakarta terus meningkat. "Yogyakarta itu dulu terkenal sebagai kota gudeg, kota pelajar, tapi sekarang jadi kota sengsu," ujarnya.
Dia mencatat ada sekitar 33 warung makan yang menjajakan menu daging anjing dari Bantul hingga Sleman. Dibanding Solo, jumlah konsumsi daging anjing di Yogyakarta terbilang kecil. Namun, sebagai tempat tujuan wisata, permintaan sengsu terus meningkat.
Mengkonsumsi daging anjing, kata Angelina, adalah salah satu pintu masuk penyebaran rabies. Indonesia menargetkan bebas rabies pada 2020. Masalahnya, kata dia, jika perdagangan daging anjing tidak dilarang, target bebas rabies tak akan pernah tercapai. “Apalagi pasokan anjing untuk sengsu tak bisa dijamin kesehatannya,” ucapnya.
VENANTIA MELINDA | ALI N.Y.