TEMPO.CO, Jakarta - Ada fakta menarik tentang tari poco-poco, yakni dapat mengurangi potensi penyakit diabetes. Caranya dengan mempertahankan fungsi eksekutif, salah satu kemampuan kognitif tertinggi manusia. "Salah satu caranya dengan menari poco-poco," kata Ria Maria Theresa, kandidat doktor, saat memaparkan disertasinya di Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Rabu, 22 April 2015.
Ria mempertahankan disertasinya yang berjudul Intervensi Tari Poco-poco terhadap Fungsi Eksekutif Penyandang DM Tipe-II dengan Hendaya Kognitif Ringan Melalui Perbaikan Fungsi dan Plastisitas Neuron di depan para penguji. Menurut Ria, tari poco-poco adalah tarian tradisional Indonesia yang melibatkan fisik, emosi, kognitif, dan interaksi sosial yang dapat merangsang fungsi-fungsi eksekutif.
Dalam ranah ilmu kedokteran, kata dia, tarian ini salah satu bentuk proses biopsikososial yang baik. Tarian poco-poco menuntut gerakan terstruktur, kemampuan psikomotorik, sensorik, kognitif, dan mengatur tempo gerakan seiring ketukan lagu secara emosional. Meski memiliki gerakan yang cukup rumit, dia mengklaim tarian ini terbukti dapat membuat tubuh lebih energik dan melatih daya pikir.
Kerumitan tersebut secara langsung mempengaruhi perbaikan fungsi eksekutif dan plastisitas neuron. Dari gerakan rumit inilah poco-poco merangsang aktivitas sel neuron dan meningkatkan panjang dendrit (cabang sel neuron). Ria membuktikan hipotesisnya tersebut kepada kelompok sampel penyandang diabetes melitus dengan hendaya kognitif ringan.
Sebanyak 16 penderita diminta menari poco-poco minimal 2 kali dalam sepekan selama 12 pekan. "Fungsi eksekutifnya membaik sebesar 37,5 persen," kata Ria. Jumlah penyandang diabetes melitus di Indonesia cukup tinggi, yaitu 8,4 persen dari jumlah populasi. Pada 2030, jumlah tersebut akan membengkak menjadi 21,3 persen dari total penduduk Indonesia yang mencapai 252 juta jiwa.
Penyandang diabetes melitus tipe 2 memiliki peluang empat kali lebih besar mengalami hendaya kognitif vaskular non-demensia, atau hendaya kognitif ringan, dibandingkan orang tidak mengidap diabetes melitus. Hendaya kognitif ringan yang tidak ditangani dengan baik akan menjadi demensia. Beberapa penelitian menyatakan 15 persen penyandang diabetes melitus dengan hendaya kognitif ringan menjadi demensia setiap tahun. Angka itu naik 40 persen dalam waktu tiga tahun jika tidak ditangani dengan baik.
AMRI MAHBUB