TEMPO.CO , Semarang- Perhutani perwakilan Mangkang memberikan izin sebagian lahan miliknya untuk mengubur korban kekerasan tahun 1965. Perhutani beralasan makam di kampung Plumbon, kelurahan Wonosari, kecamatan Ngalian, Jawa Tengah itu sudah ada sejak lama dan berada di kawasan hutan jati milik perhutani Kesatuan Pemangku Hutan Kendal.
"Di situ sudah ada makam sejak dulu yang berada di hak kawasan hutan negara, jadi tak apa kalau memang untuk pemakaman," kata Rosi Tri Kuntoro, wakil kepala Perhutani perwakilan Mangkang, Jumat, 24 April 2015.
Rosi mengaku telah mendapatkan surat izin dari Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM) yang isinya permohonan izin pemberian nisan makam korban kekerasan 1965 di sebuah lahan milik perhutani di kampung Plumbon, kelurahan Wonosari, kecamatan Ngalian, Kota Semarang. "Kami tindak lanjuti dengan survei tempat dan tanya warga sekitar," kata Kuntoro.
Menurut dia, lembaganya tak mempersoalkan pemberian nisan dan penataan sebuah kuburan massal dengan luasan lahan lima kali 10 meter persegi itu. Selain pemberian nisan aktivis Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM) juga memasang paving di lingkaran lahan makam sebagai tanda tepat itu pernah dimakamkan sejumlah korban kekerasan 1965.
Penemuan kuburan massal di kampung Plumbon berawal dari penelitian kampus Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, penelitian keberadaan kuburan massal dilanjutkan oleh Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM) dengan cara wawancara dengan sejumlah warga di kampung setempat maupun sejumlah saksi yang terlibat menguruk dua lubang usai eksekusi pada tahun 1966.
Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM) sebelumnya telah melaporkan temuan kuburan massal yang diyakini menjadi tempat pemakaman korban tragedi 1965-1966 ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Kuburan masal itu diperkirakan digunakan mengubur 24 jenazah dalam dua lubang.
"Laporan ke Komnas HAM untuk berkonsultasi apakah jenazah-jenazah dalam kuburan itu dapat dikuburkan kembali secara layak," kata pegiat PMS-HAM, Yunantyo Adi.
Menurut Yunantyo, tujuan melapor ke Komnas HAM untuk memenuhi hak korban tragedi 65 untuk dimakamkan sesuai dengan agama yang dianut oleh para mendiang saat masih hidup. Langkah yang dilakukan itu juga mempertimbangkan sisi kemanusiaan dan upaya saling memaafkan luka-luka bangsa. Apa lagi, kata dia, pemerintah pernah menggelar rekonsiliasi antara putra-putri tokoh terkait peristiwa gerakan 30 September 1965 di era zaman Presiden Abdurahman Wahid.
"Itu dilakukan oleh putra putri Pak Harto, Jenderal A Yani, Jenderal Naustion, dan DN Aidit, terkait Tragedi 1965 yang patut apresiasi dan dilanjutkan," kata Yunantyo.
EDI FAISOL