TEMPO.CO , Kathmandu : Pengajar di Universitas Tribhuvan, Megharaj Adhikari, sedang mengikuti seminar internasional tentang cerita rakyat di kampusnya di Kathamandu, Nepal, pada Sabtu siang, 25 April 2015.
Mendadak ia merasakan getaran hebat di lantai dan para peserta seminar seketika berlarian keluar ruangan untuk menyelamatkan diri.
"Seketika kami merasakan gempa dan kemudian berlari keluar. Kami merasakan getaran gempa berskala kecil hingga 3 jam lamanya," kata Megharaj kepada Tempo melalui pesan yang dikirim via akun Facebook pada Sabtu malam.
Gempa berskala 7,9 skala Richter, ujar Megharaj, membuatnya sangat khawatir. Ia kemudian memastikan kondisi keluarganya. Untunglah, "Keluarga saya selamat," ujar Megharaj.
Setelah itu ia bergegas memberikan bantuan sukarela untuk mencari dan menyelamatkan para korban gempa di lapangan Durban, Kathmandu. "Saya mengeluarkan satu jasad dari reruntuhan bangunan," kata kolumnis di beberapa media di Nepal itu.
Ia kaget ketika menyaksikan orang yang mendonasikan darahnya untuk para korban gempa yang tewas tertimpa reruntuhan bangunan. Megharaj memperkirakan sejumlah turis asing juga tewas akibat gempa dashyat itu. "Mohon maaf kami tidak dapat membantu menyelamatkan lebih banyak lagi nyawa mereka," ujar Megharaj.
Dari informasi yang ia terima, hampir 1.000 orang tewas dan sejumlah bangunan tua dan bersejarah luluh lantak. "Sedih sekali kehilangan hampir semua bangunan warisan sejarah," kata Megharaj, yang mengaku masih merasakan getaran gempa saat berkomunikasi dengan Tempo.
Upaya pencarian dan penyelamatan korban masih berlangsung di tengah listrik yang padam. Ia pun terpaksa harus menghentikan segera penjelasannya karena ketiadaan listrik untuk mengisi baterai laptopnya. "Mohon maaf, baterai laptop saya sudah lemah sekali. Di sini listrik padam," ujar Megharaj. Lalu, komunikasi kami pun putus.
MARIA RITA