BISNIS.COM, Jakarta -Pemilik industri sepatu mulai eksodus dari area utama alias ring 1 Jawa Timur. Langkah ini mereka tempuh gara-gara rugi Rp 70 miliar, menyusul merosotnya pesanan setelah penetapan upah minimum kabupaten/kota 2015.
Sekretaris Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Jawa Timur Ali Mas’ud mengungkapkan besaran upah minimum senilai Rp 2,7 juta di ring 1 (Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, dan Pasuruan) membuat industri sepatu tidak kompetitif.
“Terus terang prospek industri sepatu di Jawa Timur buram. UMK terlalu tinggi untuk sektor padat karya. Gara-gara ini, kami tidak bisa berkompetisi melawan produsen sepatu asal Vietnam, Kamboja, dan India,” sebutnya saat ditemui, Senin 27 April 2015.
Dia melaporkan mayoritas pembeli sepatu dari luar negeri sudah mengurangi permintaannya, dari rata-rata 1 juta pasang perturun menjadi hanya 300 ribu sejak Januari 2015. “Dua pertiga permintaan dari luar negeri hilang, sehingga kerugian yang harus kami tanggung mencapai Rp 70 miliar. Importir dari luar negeri lebih memilih memesan dari Tiongkok.”
Dari total 56 perusahaan sepatu skala besar dan sedang di Jawa Timur, sebagian besar telah melakukan relokasi pabriknya ke Nganjuk, Ngawi, Madiun, Lamongan, dan Jombang. Ada juga yang melakukan eksodus ke Jepara, Jawa Tengah.
Faktor lain yang mengerem kinerja industri sepatu di Jawa Timur adalah pengenaan pajak sebesar 2,5 persen untuk ekspor ke Amerika Serikat, yang notabene adalah pangsa pasar ekspor sepatu terbesar Jatim. Pasalnya, negara itu memandang Indonesia bukan negara berkembang lagi.
Tantangan lainnya adalah kenaikan tarif dasar listrik, bahan bakar minyak, bunga bank, dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Faktor depresiasi rupiah diklaim telah menyebabkan penurunan produksi hingga 10 persen.
Menurut Ali, 80 persen bahan baku industri sepatu di Jatim masih diimpor. Hingga saat ini, belum ada pengusaha yang berani membuka pabrik bahan baku di dalam negeri, karena masih kalah kompetitif dibandingkan Cina.
“Penurunan bisa sampai 10% gara-gara nilai tukar yang melemah terhadap dolar AS ini. Kami selaku pengusaha lebih baik mengurangi keuntungan ketimbang memangkas tenaga kerja atau menutup pabrik, karena perhitungannya nanti jauh lebih mahal.”