TEMPO.CO, Yogyakarta - Rumah sakit milik Pemerintah Kota Yogyakarta, RSUD Yogyakarta, bakal menerima kucuran anggaran Rp 25 miliar dari pemerintah pusat setelah pada April ini ditetapkan sebagai rumah sakit rujukan regional di DIY.
Dana sebanyak itu diberikan dalam dua tahap. Tahap pertama akan diberikan dana Rp 3,8 miliar dari APBD Perubahan 2015 untuk peralatan. Dan tahap kedua akan dikucurkan Rp 21 miliar pada 2016 juga untuk peralatan. “Sarana fisik dan infrastruktur rumah sakit ditanggung daerah,” ujar Tuty Setyowati, Direktur RSUD Yogyakarta, kepada Tempo, Rabu, 29 April 2015.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Kesehatan memberi jangka waktu lima tahun, 2015-2020, bagi RSUD dan Pemerintah Kota Yogyakarta untuk mempersiapkan infrastrukturnya agar memadai. “Yang pertama kami siapkan adalah memperluas lahan dan menambah bangsal,” ucapnya.
Saat ini RSUD memiliki 200 bangsal dan akan ditambah sekitar 150 bangsal dengan perluasan blok H yang dibiayai APBD Kota Yogyakarta 2015. Namun Tuti belum mengetahui perkiraan tambahan bangsal lagi jika perluasan lahan disetujui. “Yang jelas, sarana dan prasarana kami lengkapi,” tuturnya.
Sejak program BPJS diberlakukan pemerintah, RSUD menerima sekitar 700 pasien rawat jalan setiap hari dan sekitar 500 pasien rawat inap setiap bulan. Angka itu dinilai tak terlalu melonjak dibanding sebelum BPJS diberlakukan. “Mungkin karena pengaksesnya masih warga kota,” katanya.
Ketua Komisi D DPRD Kota Yogyakarta Agung Damar Kusumandaru berujar, dari pembahasan pihaknya dengan RSUD, perluasan lahan rumah sakit memang perlu dilakukan, agar indikator pelayanan dan kenyamanan pasien tercapai. Serta menambah jumlah bangsal untuk kelas III bagi mayoritas pengakses BPJS.
Kebutuhan perluasan lahan yang diajukan sekitar 3.000 meter persegi, tapi baru tersedia separuhnya,” ucap Agung. Dewan memprediksi, untuk kebutuhan lahan, biaya yang dibutuhkan sekitar Rp 10 miliar. “Anggaran tak ada masalah berapa pun. Masalahnya, tanah di area itu terbatas,” tuturnya.
Anggota Komisi D, Dwi Saryono, mengatakan, untuk memenuhi layanan di tingkat regional DIY, kendala yang muncul justru di tingkat birokrasi, yakni akibat pemberlakuan Undang-Undang Pemerintah Daerah Nomor 23 Tahun 2014. “Rumah sakit pemerintah harus di bawah Dinas Kesehatan. Ini repot, karena beban Dinas Kesehatan sendiri sudah cukup besar. Layanan dua instansi malah bisa terganggu,” ujarnya.
Bentuk birokrasi rumah sakit melalui perubahan pengelolaan birokrasi itu merujuk pada Unit Pelaksana Teknis. "Kami akan sampaikan keberatan. Jika birokrasi rumah sakit dibuat rentan posisinya, yang mengancam pelayanan," ucapnya.
PRIBADI WICAKSONO