TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Perekonomian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta Veri Yonnevil menolak rencana upaya kalangan pengusaha menghapus hak mogok yang dimiliki kalangan buruh. "Itu hak prerogatif mereka. Persoalan mogok itu karena tersendatnya komunikasi. Jadi harus kami pantau," ujarnya saat dihubungi, Kamis, 30 April 2015.
Persoalan buruh tidak bisa diselesaikan hanya dengan berdiskusi. Pemerintah dan pengusaha harus memberikan kesempatan bagi para buruh untuk menyampaikan aspirasinya. Dia mengakui sebagian besar persoalan buruh akibat minimnya fasilitas kesejahteraan dalam kontrak kerja sama. "Makanya mereka demo karena ingin ada penyesuaian," ucapnya.
Veri mengakui, hingga kini, produktivitas buruh masih rendah. Sedangkan tuntutan mereka akan peningkatan kesejahteraan tidak bisa dihindarkan. Akibatnya, mereka kerap turun ke jalan menyuarakan pendapatnya. Untuk itu, dia berharap kalangan buruh dipacu meningkatkan produktivitasnya. "Semakin baik produktivitasnya, tentunya laba perusahaan kan semakin besar, kembalinya ke kesejahteraan pegawai itu sendiri," katanya.
Anggota Dewan Pengupahan DKI Jakarta, Sarman Simanjorang, menuturkan momen May Day seharusnya digunakan kalangan serikat buruh dan pekerja untuk mengevaluasi kinerja dan produktivitas buruh secara nasional.
Sarman mencatat, hingga kini, pendidikan terakhir mayoritas buruh Tanah Air adalah SD, SMP, atau SMA, yakni sebesar 93 persen. Sedangkan yang pendidikan terakhirnya diploma, sarjana, atau di atasnya hanya 7 persen. Tak ayal, produktivitas dan kompetensi buruh Indonesia masih kalah jauh dibanding beberapa negara tetangga.
"Artinya, jangan hanya menuntut kenaikan gaji, tapi perbaiki kualitas, produktivitas, dan kompetensi," ujarnya.
JAYADI SUPRIADIN