TEMPO.CO, Bandung - Keindahan alam di Lembang, Jawa Barat, sudah dikenal sejak lama. Hamparan pegunungan yang hijau dan berpadu dengan perkebunan sayur milik warga merupakan daya tarik kecamatan yang terletak di Kabupaten Bandung Barat ini.
Bersama 40 orang pesepeda, Tempo menjelajahi Lembang pada Sabtu, 2 Mei 2015 dalam acara Gowes Bareng Geolog. Tak sekedar bersepeda, di sana kami juga mendapat "kuliah" singkat tentang fenomena geologi sesar atau patahan Lembang.
Berawal di Gunung Kasur yang berada di kawasan perkebunan kina Bukittunggul, rombongan bergerak menyusuri jalur Patrol, Cibodas, hingga Maribaya. Acara yang digagas oleh Ikatan Alumni Teknik Geologi, Institut Teknologi Bandung, tersebut mengangkat tema "Learning from Our Fault." Tema ini untuk mengingatkan kembali besarnya ancaman gempa yang terkandung dari perut bumi Lembang.
"Gempa Nepal menjadi peringatan bahwa hal yang sama bisa terjadi di Bandung karena karakteristiknya sama," ujar Budi Brahmantyo, sang intepreter sekaligus pemandu acara.
Budi, geolog kawakan yang juga pengajar di jurusan Teknik Geologi ITB, menjelaskan bahwa tumbukan di dalam bumi terus berlangsung selama ribuan tahun. Suatu saat energi itu bisa saja lepas menjadi gempa hebat.
Sinyalemen tersebut sudah muncul pada 2011. Terjadi gempa di dua lokasi di Lembang, yaitu di sekitar Pasir Halang, Gunung Palasari, dan Parongpong.
Acara yang berlangsung dari pukul 10.00 hingga pukul 15.00 berlangsung menarik. Selain karena jalurnya memang menantang, pegowes juga disuguhi pemandangan indah yang terhampar di kawasan Lembang Timur.
Ada empat titik pemberhentian yang menjadi pokok pembahasan. Titik pertama yang juga tempat start, tepat berada di kaki Gunung Palasari, gunung yang menandai ujung timur patahan Lembang. Titik kedua berada di daerah Sasak Bereum yang merupakan tempat keberadaan situs Batu Loceng, yaitu sebuah batu yang bentuknya mirip lonceng.
Pemberhentian ketiga adalah di Desa Cibodas yang merupakan titik terindah di sepanjang patahan Lembang. Di sini kami disuguhi pemandangan tebing cadas setinggi lebih kurang 300 meter yang berpadu dengan hamparan hutan pinus di lembahnya. Uniknya, keindahan tebing cadas tetap menyimpan misteri. Sebabnya, material yang berasal dari lava tidak diketahui pasti asal muasalnya menjadi tebing.
Yang terakhir adalah Maribaya. Area ini merupakan titik terendah dari Patahan Lembang. Tempat berhimpunnya tiga sungai yang membentuk Kali Cikapundung, sungai terbesar yang membelah Kota Bandung.
Tak ketinggalan cerita legenda Sangkuriang melengkapi paparan ilmiah dari Budi Brahmantyo. Misalnya, soal asal-usul nama tiga gunung besar di dataran tinggi Lembang, yaitu Bukittunggul, Tangkubanparahu, dan Burangrang.
Bukittunggul sejatinya bernama Beuti Tunggul alias pangkal umbi-umbian, Tangkubanparahu asal kata dari perahu nangkub (terbalik), dan Burangrang berasal dari kata rangrang, yang artinya ranting-ranting sisa tebangan pohon. Semua istilah dalam bahasa Sunda itu terkait dengan cerita Sangkuriang yang berambisi membuat perahu dan danau dalam satu malam.
"Ternyata para karuhun (leluhur) membuat cerita tidak asal-asalan, nyambung dengan fenomena alam. Bandung memang dulunya adalah danau," ujar Budi.
Perjalanan berakhir di Maribaya dan ditutup dengan "kuliah" tentang batu akik dari pakar geologi Sujatmiko. Ia memberi tip cara membedakan batu akik asli dan palsu, serta jenis-jenis batu mulia yang saat ini menjadi tren di masyarakat.
Salah satu peserta, Yanti Herawati, mengaku puas dengan acara ini. "Kita bisa belajar geologi sambil menikmati keindahan alam. Jadi tidak membosankan," katanya.
GILANG RAHADIAN