TEMPO.CO, Surabaya - Bisnis perhotelan di Jawa Timur pada April mengalami lonjakan okupansi yang cukup signifikan. Ketua Badan Pengurus Daerah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (BPD PHRI) Jawa Timur M. Sholeh menduga kenaikan ini merupakan dampak dilonggarkannya surat edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentang larangan pegawai negeri sipil menggelar rapat-rapat di hotel.
Sholeh pun mengaku senang karena kebijakan ini telah berpengaruh pada okupansi perhotelan dan restoran di Jawa Timur. Dibandingkan bulan Februari dan Maret lalu, peningkatan pada April bisa dikatakan dua kali lipat. “Meskipun kalau dibandingkan pada April 2014 tentu okupansi saat ini masih di bawahnya,” kata Sholeh, Senin, 4 Mei 2015.
Dari catatannya, pelonggaran itu juga berdampak pada meningkatnya perputaran uang di sektor perhotelan. Di Surabaya saja, dia memperkirakan setiap bulan sektor perhotelan bisa mencatatkan Rp 500 miliar. Sedangkan untuk Jawa Timur diperkirakan mencapai Rp 1 triliun per bulan.
Kepala Badan Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur M. Sairi Hasbullah juga membenarkan, sejak Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi melonggarkan kebijakan itu, okupansi perhotelan di Jawa Timur naik 53,09 persen. Padahal, pada Maret lalu, okupansi hanya mencapai 48,21 persen.
“Kemungkinan terjadi karena PNS boleh rapat di hotel-hotel milik pemerintah,” ujarnya. Dia menambahkan, bagi rapat-rapat yang mendesak juga boleh dilakukan di hotel swasta. Selain itu, kenaikan okupansi terjadi karena adanya kenaikan drastis wisatawan mancanegara dan domestik ke Jawa Timur.
Apalagi, menurut Sairi, pada bulan April hingga Mei ini, di sejumlah wilayah di Jawa Timur, khususnya Surabaya, banyak diadakan perhelatan besar. “Tapi secara resmi saya mengatakan bahwa terjadi kenaikan kunjungan wisman (wisatawan mancanegara),” tuturnya.
AVIT HIDAYAT