TEMPO.CO, Jakarta - Pembangunan pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW) untuk mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi nasional, seperti ditargetkan pemerintah, harus bebas masalah.
"Perusahaan penyuplai listrik setidaknya clear and clean dalam keikutsertaan pada program nasional 35 ribu megawatt," kata koordinator nasional Masyarakat Peduli Kedaulatan Energi (Madani), Ryas Restapati, di Jakarta, Kamis, 7 Mei 2015.
Program pembangkit listrik 35 ribu MW telah diresmikan Presiden Jokowi di Yogyakarta baru-baru ini. Namun Ryas mengkhawatirkan program ini terganjal minimnya kualitas perusahaan peserta proyek.
"Persoalan biasanya muncul di pertengahan, dan masalah ini sudah jadi rahasia umum," ujarnya.
Persoalan itu di antaranya minim pengalaman, keuangan, dan kemampuan diplomasi pembebasan lahan.
Contoh kasusnya adalah dalam megaproyek Pembangkit Listrik Cirebon (PLC) yang menelan biaya sekitar 1,4 miliar dolar AS. Perusahaan Indika Energy menarik diri karena mengalami kesulitan keuangan.
Sedangkan persoalan melilit PT Adaro Energy, yakni belum berhasil membebaskan lahan di Balangan dan Tabalong, Kalimantan Selatan, menyusul rencana eksplorasi penambangan batu bara. Adaro diketahui tak transparan dalam anggaran pembebasan lahan.
Karena itu, ditegaskan Ryas, syarat minimal yang wajib dipenuhi perusahaan peserta program adalah memiliki kemampuan dan pengalaman teknis, keuangan mumpuni, dan andal diplomasi pembebasan lahan.
"Tiga persyaratan itu ujian bagi para penyuplai setrum," ujarnya.
Program energi listrik nasional 35 ribu MW membutuhkan kecepatan, ketegasan, dan skema kerja sama saling mendukung antarpihak. Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, serta PT PLN (Persero) berusaha merealisasikannya.
"Niat baik pemerintah untuk merealisasikan pembangunan pembangkit 35.000 MW sebaiknya bisa tercapai," tutur Ryas.
ANTARA