TEMPO.CO, Jakarta - Mengenakan mahkota emas berujung runcing bak Dewi Libertas, sosok Dewi Keadilan dalam mitologi Romawi, yang kemudian muncul dalam bentuk Patung Liberty di New York, Dewaraja muncul di tengah kegelapan panggung. Ia mengenakan gaun putih dengan motif naga besar berwarna emas. Di belakangnya, berdiri sosok lain membelakangi panggung. Bak bayangan sang Dewaraja, ia bergaun hitam dengan motif kumudawati berwarna merah bata. Peran Dewaraja dan bayangannya itu masing-masing diserahkan kepada peragawati Laura Muljadi dan Paula Verhoeven. Aksi mereka merupakan puncak dari peragaan busana bertajuk Dewaraja dari label Iwan Tirta Private Collection.
Dewaraja menjadi penanda kembalinya label Iwan Tirta Private Collection setelah wafatnya maestro batik itu lima tahun lalu. "Ini peragaan tunggal pertama setelah Mas Iwan wafat," kata Direktur Kreatif Iwan Tirta Private Collection, Era Soekamto, Senin dua pekan lalu. Label Iwan Tirta sebelumnya memang sempat menggelar peragaan bertajuk Hasta Brata pada akhir tahun lalu di Jakarta Fashion Week. Namun gelaran itu tidak seakbar Dewaraja, yang digelar khusus di ballroom Hotel Fairmont Jakarta, Senayan. Kali ini, Era menampilkan 60 busana baru dan menggali lagi sebagian motif dari 10 ribu koleksi motif batik warisan Iwan.
Era sengaja tidak memilih batik-batik yang kental dengan nuansa regalia Jawa—apalagi yang terkait Mangkunegaran—sebagai benang merah utama Dewaraja. Ia justru menyuguhkan tafsiran lain soal batik-batik Iwan Tirta dengan memilih motif Bali dan Cirebonan dalam Dewaraja. “Sebenarnya Dewaraja ini merupakan konsep universal tentang pencarian spiritual, yang ternyata terekam dalam batik-batik Mas Iwan Tirta,” katanya. Dewaraja yang dimaksudkan di sini merupakan konsep kepemimpinan saat seorang raja telah mencapai tahap kebijaksanaan tertentu sehingga memiliki sifat dewa dalam dirinya.
Butuh waktu dua tahun bagi Era untuk menggodok konsep Dewaraja. Ia melakukan riset hingga ke Trowulan untuk memastikan interpretasinya terhadap sejumlah batik karya Iwan Tirta—kurang-lebih 10 ribu macam—sesuai dengan fakta sejarah. Salah satu yang dipastikan antara lain soal motif naga dari batik Cirebon, yang ternyata justru berakar dari era Majapahit. Begitu juga dengan sejumlah motif batik terang bulan dari Bali, yang juga berasal dari Kerajaan Majapahit. "Setelah melakukan riset, kami dan manajemen akhirnya yakin untuk menggunakan konsep ini," ujarnya.
Era kemudian mengelompokkan batik-batik yang dipilihnya menjadi tiga bagian koleksi. Batik terang bulan, dengan motif padma alias bunga teratai yang juga terlihat sebagai mandala, menjadi bagian pembuka bertajuk “Samsara Nirvana”. Ini menunjukkan dualisme dalam kehidupan antara kebahagiaan dan kesengsaraan untuk mencapai surga. Kontradiksi tersebut terlihat dalam terang-gelap batik dengan teknik terang bulan yang diterapkan pada motif ukir Bali, pinggiran Bali, dan banji swastika. Menurut Era, Batik terang bulan sebenarnya tidak lazim digunakan pada pakaian. “Ini biasanya untuk taplak meja, tapi kali ini kami coba untuk aplikasikan pada baju,” ujar dia.
Bagian kedua bertajuk “Sivaratri Kalpa”, yang merupakan nukilan dari kitab kuno Hindu. Ini berarti ajaran untuk menemukan cermin di dalam diri serta berintrospeksi agar menjadi pemimpin yang lebih baik. Bagian ini diwakili oleh motif batik yang simetris, antara lain nogo sebho, pager wesikala, dan nogo liman. "Saya banyak sekali menemukan motif batik Mas Iwan yang mirroring," tutur Era.
Adapun bagian ketiga berjudul “Antahkarana”, yang berarti cahaya di atas cahaya. Ini diwakili oleh motif-motif besar, dari ceplok kembang polengan, bunga Bali, ukel Bali poleng, yang dipadu dengan motif kumudawati—yang diambil dari hiasan fresco di Puro Mangkunegaran dan berisi hastagina atau delapan sifat yang harus dimiliki oleh pewaris Mangkunegara—hingga naga yang menjadi penutup. Bagian terakhir ini memang didominasi motif hitam-putih polengan yang melambangkan keseimbangan.
SUBKHAN | HP