TEMPO.CO , Semarang: Terbakarnya Pasar Johar pada Sabtu, 9 Mei 2015, memunculkan simpati publik Kota Semarang. Mereka secara swadaya membentuk lembaga penyelamat Pasar Johar yang diberi nama Selametke Pak Jo.
“Ini inisiatif sejumlah elemen masyarakat di Kota Semarang,” kata inisiator sekaligus koordinator Selametke Pak Jo, Rukardi, Selasa 12 Mei 2015.
Sejumlah masyarakat ikut mendirikan perkumpulan penyelamatan Pasar Johar. Mereka di antaranya akademisi, budayawan, seniman, arsitek, jurnalis, mahasiswa dan advokat. “Mereka peduli karena Pasar Johar menjadi ingatan kolektif orang Semarang maupun yang pernah hidup di Semarang,” kata Rukardi.
Langkah awal Selametke Pak Jo itu dengan cara mendorong tim independen meneliti struktur Pasar Johar. Struktur pasar yang dimaksud adalah bangunan beton yang selama ini menjadi indentitas pasar Johar yang telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya sejak 1980-an.
Menurut Rukardi, lembaga peduli Pasar Johar yang dibentuk itu khawatir dengan kondisi beton bangunan setelah terbakar. Dalam waktu dekat, Selametke Pak Jo berkoordinasi dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) untuk meneliti kualitas beton pasar yang dulu diarsiteki oleh Thomas Karsten di masa kolonial. “Upaya mendatangkan BPCB itu mendesak karena terkait dengan Pasar Johar sebagai bangunan bersejarah,” kata Rukardi.
Sebelumnya Menteri Perdagangan Rahmat Gobel menyatakan segera membangun ulang Pasar Johar yang telah terbakar.
Sementara itu, budayawan Kota Semarang, Djawahir Muhamad menyatakan keberadaan Pasar Johar sebagai simbol peradaban tua. “Pasar Johar bagian identitas kota tradisional. Itu sesuai history of Java, yang menunjukan ada masjid, alun-alun, pasar, penjara dan kadipaten,” kata Djawahir.
Menurut Djawahir, Pasar Johar juga menunjukkan identitas kota metropolis di era lama. Arsitektur pasar itu menjadi bukti sejarah yang telah dilindungi undang-undang cagar budaya. “Jadi tak sembarangan dirobohkan,” kata Djawahir.
Pasar Johar dinilai bagian dari peradaban tua Kota Semarang meliputi alun-alun di antaran Jalan Kauman atau depan masjid besar Agung Semarang, Jalan Agus Salim hingga dan Jalan Kali Semarang. “Sayangnya alun-alun kini hilang menjadi pasar,” kata Djawahir.
EDI FAISOL