TEMPO.CO , Jakarta - Ternyata selain GO-JEK, ada layanan lain yang sejenis, yakni Grab Bike. Layanan jasa transportasi sepeda motor ini jadi pilihan warga Jakarta untuk mengatasi kemacetan.
Mustika Wati mengatakan faktor promosi menjadi salah satu alasan dirinya menggunakan GO-JEK. "Begitu tahu ada promo, mulai deh kepikiran untuk mencoba," kata Mustika saat dihubungi Tempo, Jumat, 12 Juni 2015.
Mustika, akrab dipanggil Ika, menerangkan ada selisih harga yang cukup besar antara menggunakan ojek biasa dengan GO-JEK. Ketika masa promosi, Ika hanya perlu mengeluarkan ongkos sebesar Rp 10.000 untuk jarak tempuh maksimal 25 kilometer. Sementara jika naik ojek biasa, ia mesti membayar Rp 15.000. Kepuasan lainnya yang didapat Ika ialah adanya rasa aman dan pemesanan bisa dilakukan tanpa mengenal waktu dan tempat.
Meski demikian, Ika mengatakan bukan pengguna setia GO-JEK. Kala tidak dikejar waktu, pegawai kantoran di kawasan Senayan, Jakarta, ini lebih memilih menggunakan transportasi umum lainnya, seperti Transjakarta. Bahkan, ia tak segan menggunakan pesaing GO-JEK lainnya, yaitu Grab Bike.
Faktor keamanan, keselamatan, dan kebersihan menjadi pilihan utama Ika ketika menggunakan jasa transportasi umum. Menurut Ika, para pengemudi GO-JEK selalu mengutamakan keselamatan penumpangnya dengan wajib mengenakan helm. Selain itu, identitas pengemudi pun mesti dikenakan.
Selain soal murah, kejelasan dalam hal tarif dan ketepatan waktu menjadi alasan tersendiri bagi Natalia Dolorosa, 26 tahun, dalam memilih layanan GO-JEK. Uniknya, Natalia belum pernah sekali pun menaiki GO-JEK. "Saya pakai GO-JEK untuk antar makanan," ucap warga Sunter, Jakarta Utara, ini.
Dalam sebulan terakhir ia sudah memesan tiga kali layanan antarmakanan lewat aplikasi Go-Jek di telepon genggamnya. Hasilnya ternyata cukup memuaskan. "Mereka datangnya cepat, sesuai dengan perkiraan waktu di aplikasi," kata Natalia. Ditambah dengan layanan yang sopan dan pesanan makanan yang akurat.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengimbau tukang ojek untuk bergabung dengan GO-JEK untuk mengatasi persaingan bisnis. Menurut dia, dengan adanya Go-Jek, tukang ojek tak perlu menghabiskan waktu untuk menunggu penumpang. Namun usulan Ahok ini mendapat kecaman dari Organisasi Angkutan Darat (Organda). Ketua Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinungan malah mendesak gubernur untuk menegakan aturan lalu lintas dan angkutan penumpang. Dalam Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nomor 22 Tahun 2009 disebutkan sepeda motor bukan untuk angkutan umum orang atau barang.
Cerita kekerasan yang dialami sopir GO-JEK ini merebak dari media sosial seperti Twitter dan Path. Para pengguna layanan GO-JEK menceritakan sopir GO-JEK yang ia pesan mengalami ancaman ketika hendak menjemputnya.
Salah satunya, pelanggan GO-JEK bernama Boris Anggoro yang menuturkan pengalamannya di Path. "Abangnya nelpon katanya dia disamperin lima abang ojek yang mangkal deket kantor mau dipukulin," tutur Boris di Path. Tak lama, sopir GO-JEK yang sejatinya hendak menjemput Boris kembali menelepon. Sopir itu meminta Boris membatalkan pesanan karena si sopir dikejar tukang ojek lain hingga lampu merah. Bahkan, sopir GO-JEK ini harus bersembunyi di antara pedagang kaki lima.
Awalnya, Boris menyangka si sopir GO-JEK berbohong. Ia pun kembali memesan layanan GO-JEK. Ternyata sopir GO-JEK itu juga mengalami hal yang sama. Bahkan, tukang ojek itu mendorong tubuh sopir GO-JEK. Lantaran tak ingin sopir GO-JEK ini celaka, Boris mengalah dan memintanya pergi. Lalu ia memilih tukang ojek yang mangkal di kantornya untuk mengantar ke Kalibata City. Ia dikenai biaya Rp 45 ribu. "Sementara rate GO-JEK hanya Rp 27 ribu," Boris mengeluh.
ADITYA BUDIMAN | NIEKE INDRIETTA