TEMPO.CO, Charleston - Dylann Roof, pelaku penembakan jemaat Gereja Charleston, dikenal sebagai sosok pemuda yang ramah dan sopan. Seorang kerabat dekat Dylann, yaitu nenek tirinya, mengatakan Dylann tertutup terhadap segala aktivitasnya. Belakangan neneknya mengetahui pemuda berusia 21 tahun ini bergabung dalam kelompok rasis.
"Dia berubah menjadi seorang penyendiri sejak beberapa tahun terakhir. Tidak ada yang tahu mengapa dia menjadi seperti itu," kata sang nenek, seperti dikutip Wall Street Journal, Jumat, 19 Juni 2015. Dylann merupakan anak seorang kontraktor. Dia dikenal baik di awal masa sekolah dan menyukai hewan peliharaan. Namun Dylann tidak menyelesaikan pendidikannya di tingkat sekolah menengah dan hidup terkatung-katung.
Dylann sempat mengulang pelajaran kelas sembilan di Sekolah Menengah White Knoll, Lexington, Carolina Selatan. Juru bicara Lexington di bidang pendidikan mengatakan ketika naik ke kelas 10 pada Februari 2010, Dylann meninggalkan White Knoll. Sebulan kemudian Dylann mendaftar di SMU Dreher, Columbia. Di sekolah barunya, Dylann hanya belajar sampai Mei 2010 dan kemudian pergi tanpa kabar.
Seorang kerabatnya mengatakan Dylann tinggal bersama ayahnya, Ben Roof, di Columbia. Kerabatnya menceritakan Ben seorang pekerja keras. Suatu ketika Ben pernah mengeluhkan kondisi Dylann yang kurang produktif, gemar bermain video game, dan memilih tidak bekerja.
Di lain pihak, temannya menuturkan Dylann terlihat lebih muda dibandingkan dengan usianya. Ia dikenal penyendiri dan jarang tersenyum. "Anda bisa melihat kalau dia punya masalah," kata teman Dylann yang enggan disebutkan namanya.
Beberapa bulan sebelum insiden penembakan terjadi, polisi mendapatkan laporan ihwal Dylann yang bertingkah aneh ketika mengunjungi pusat perbelanjaan. Pada 28 Februari, Dylann ditahan atas kepemilikan obat terlarang. Dengan mengenakan pakaian serba hitam Dylann bertanya ke beberapa pegawai di dua toko tentang jam kerja pegawai dan waktu operasional mal. Saat polisi menciduknya, Dylann mengaku mendapat tekanan dari orang tuanya untuk mencari pekerjaan.
Tak lama setelah insiden penembakan di Gereja Charleston, Carolina Selatan, Amerika Serikat, pada Rabu malam, 17 Juni 2015 waktu setempat, polisi membekuk Dylann Roof. Dari keterangan sementara polisi, sebelum menembak para jemaat, pelaku meneriakkan sentimen kebencian kepada korban. Sembilan orang tewas dalam kejadian itu.
WALL STREET JOURNAL | ADITYA BUDIMAN