TEMPO.CO, Charleston - Kepala Kepolisian wilayah Charleston, Carolina Selatan, Greg Mullen, mengatakan aksi penembakan yang dilakukan Dylann Roof bermotif kebencian. Sebelum melepaskan tembakan, saksi berujar Roof melontarkan kalimat penuh kebencian terhadap orang kulit hitam.
Salah satu kerabat dari korban yang selamat, Kristen Washington, menjelaskan pelaku berteriak kepada para jemaat kalau orang kulit hitam telah menguasai wilayah Charleston dan memperkosa para wanita.
"Sepupu saya (Tywanza Sanders) mencoba untuk menenangkan dan mencegah aksi pelaku," kata Washington, seperti dikutip New York Times, Jumat, 19 Juni 2015. Sanders merupakan satu dari sembilan korban yang tewas. Namun upayanya menemui jalan buntu.
Keterangan Washington dibenarkan oleh Sylvia Johnson yang mendapat penjelasan dari korban selamat lainnya. Sylvia merupakan sepupu dari Clementa Pinckney, seorang pastor yang meninggal di insiden itu. "Kalian telah menguasai wilayah ini dan harus pergi," kata Sylvia mengulangi perkataan saksi.
Dari rekaman kamera, Roof memasuki gereja sekitar pukul delapan malam. Mengenakan kaos lengan panjang berwarna kelabu, ia membawa tas berwarna cokelat. Roof tidak langsung melepaskan tembakan. Selama satu jam ia duduk di sebelah Pinckney dan mendengarkan ceramah. Pelaku sempat berdebat dengan jemaat karena merasa tidak setuju dengan isi ceramah.
Tak berapa lama, pemuda berusia 21 tahun itu berdiri sambil menodongkan senjata ke para jemaat. Roof lalu memuntahkan peluru ke sembilan orang. Menurut saksi yang selamat, pelaku sengaja tidak menghabisi semua korban agar bisa menceritakan peristiwa itu kepada orang lain.
Enam orang perempuan tewas seketika dan tiga lainnya mengalami kritis sebelum mengembuskan nafas terakhir. Korban yang tewas terdiri dari manajer perpustakaan, mantan pegawai administrasi, terapis, dan pendeta.
Presiden Amerika Serikat Barack Obama merasakan kepedihan yang mendalam atas penembakan itu. Obama mengenal dekat salah satu korban, yaitu pastor Reverend Clementa Pinckney.
Ia mengatakan tewasnya sembilan orang dalam peristiwa itu telah mengancam demokrasi dan cita-cita warga Amerika. "Ini bukan kali pertama serangan seperti ini terjadi. Kita tahu kebencian terhadap ras tertentu akan menimbulkan ancaman tertentu bagi demokrasi negara," ucap Obama, Kamis, 18 Juni 2015 waktu setempat.
NEW YORK TIMES | ADITYA BUDIMAN