TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menggunakan pendekatan legal formal dalam kasus penggusuran di Kampung Pulo, Jakarta Timur.
Ahok, begitu Basuki biasa disapa, tidak akan memberikan uang ganti rugi atau dana kerahiman kepada warga yang lahannya digusur untuk normalisasi Sungai Ciliwung. Padahal Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Jakarta tahun 2015 sebesar Rp 69,28 triliun.
Menurut dia, dana kerahiman tak diberikan karena warga yang bertempat tinggal di Kampung Pulo tidak dapat menunjukkan sertifikat kepemilikan tanah atas lahan yang mereka tempati. "Tapi, kalau kamu tidak ada dasar, cuma jual-beli bangunan di atas tanah negara, itu tidak bisa. Kami kena masuk penjara," kata Ahok di Balai Kota, Jakarta Pusat, Selasa, 25 Agustus 2015.
Ahok berdalih larangan pemberian dana kerahiman tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Andai kata warga memiliki sertifikat atau bukti tanah girik, Pemerintah Provinsi DKI akan memberikan dana kerahiman sebesar 25 persen dari nilai jual obyek pajak. "Bukan surat jual-beli bangunan di atas tanah negara," ujarnya.
Ia mengaku hanya mengikuti aturan yang berlaku. Namun, karena tidak ada yang dapat menunjukkan sertifikat, rumah susun merupakan jawaban atas penggantian bagi warga.
Ahok mengatakan belum penuhnya Rumah Susun Jatinegara karena penghuninya memilih kembali ke kampung halaman. "Mereka pulang kampung semua ke Bogor, Jawa kok. Banyak yang ngontrak di sana."
MAYA NAWANGWULAN