TEMPO.CO , Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat semakin lemah dan mencapai puncaknya pada Senin lalu. Rupiah anjlok hingga mencapai 14 ribu per dolar. Meski banyak yang menilai Indonesia sudah memasuki krisis, ekonom BCA, David Sumual, merasa yakin Indonesia belum mengalami hal itu.
"Ya sekarang masih semi-krisis. Bisnis masih jalan dan kondisi ini belum banyak membuat perusahaan fault," kata David saat dihubungi Tempo pada Selasa, 25 Agustus 2015. Menurut David, perekonomian saat ini tak seburuk saat krisis 1997, di mana krisis finansial, moneter, dan mata uang yang terakumulasikan menjadi krisis ekonomi.
David menilai kondisi sekarang lebih mirip dengan krisis 2008. Saat itu, investasi pasar anjlok mencapai hampir 40 persen, yang juga menyeret harga indeks harga saham gabungan (IHSG).
Investor asing pun memilih angkat kaki dan menyimpan uang. "Lebih parah lagi, saat itu pinjaman antarbank telah berhenti sama sekali dan dapat dikatakan likuiditas di pasar perbankan berhenti total," katanya.
Meski belum menunjukkan tanda-tanda akan anjlok seperti tujuh tahun silam, David mengatakan, pemerintah tetap harus waspada. Mereka harus membuat contingency plan (rencana darurat) agar tak terlambat mengantisipasi kemungkinan yang akan datang.
Menurut David, salah satu faktor yang menyebabkan ekonomi semakin buruk adalah lambatnya pembangunan serta pengambilan kebijakan. "Pemerintah tak bisa lagi bertindak seolah business as usual. Harus meningkatkan sense of urgency." Ia menyayangkan lambatnya penerbitan kebijakan krusial, seperti peraturan presiden untuk percepatan pembangunan infrastruktur.
URSULA FLORENE