TEMPO.CO, CHICAGO — Sebuah studi yang melibatkan 40 siswa SMA di Chicago beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa penggunaan alat musik instruksi dapat meningkatkan fungsi otak dalam memproses suara.
Ahli saraf dari Northwestern University yang mendokumentasi fungsi kerja otak dalam penelitian itu menunjukkan bahwa keikutsertaan siswa dalam kelas musik selama 2-3 jam seminggu dapat meningkatkan kemampuan musikalitas mereka dan juga mengembangkan kemampuan verbal non-musik.
"Belajar bermain musik tidak mengajarkan keterampilan yang dibutuhkan di banyak pekerjaan, tetapi hal ini dapat menimbulkan apa yang disebut pendidik sebagai ‘belajar untuk belajar,’” kata Nina Kraus, peneliti utama dalam penelitian Music Training Alters the Course of Adolescent Auditory Development,” seperti dikutip US News, Selasa, 25 Agustus 2015.
Istilah belajar untuk belajar (learning to learn), merujuk pada teknik apa pun yang mengembangkan kemampuan otak untuk mempelajari hal baru. Penelitian ini menunjukkan bahwa otak manusia di usia remaja masih tergolong neurooplasticity dan merespon intervensi. Hal yang sebelumnya diperkirakan hanya terjadi di masa anak-anak.
“Banyak usaha difokuskan pada intervensi di masa awal anak-anak yang memberikan pesan bahwa intervensi di masa berikutnya kurang efektif,” kaya Kim Nobel, ahli saraf dari Teacher College, Columbia Universirt. “Kami senang mendapatkan bukti bahwa intervensi di masa remaja juga bisa efektif. Beberapa kajian yang dilakukan Northwestern University menunjukkan bahwa otak remaha masih dikonstruksi.
Namun, penelitian lain yang dilakukan pada anak-anak menunjukkan perbedaan besar dalam pengembangan kemampuan verbal anak-anak dari kelas menengah dan kelas bawah. Penelitian ini menunjukkan ketika anak-anak mencapai usia SMP dan SMA, fungsi otak mereka sudah stagnan dan sulit untuk ditingkatkan.
Penelitian musik di Chicago ini melibatkan anak-anak dari wilayah kelas bawah, tetapi tidak membuktikan bahwa remaja dengan kelas ekonomi bawah kesulitan untuk mengejar. Peneliti mengukur kemampuan siswa di kelas musik melawan kelas olahraga dari lingkungan yang sama. Hasil penelitian itu menunjukkan kemampuan memproses pendengaran remaja di kelas olahraga lebih lemah ketimbang remaja di kelas musik. Proses auditori merupakan kunci proses verbal.
Siswa-siswa ini memilih kelas musik sendiri. Namun penting untuk diperhatikan bahwa pada saar penelitian ini dimulai, peneliti tidak menemukan perbedaan fungksi kerja otak yang diukut lewat pembacaan elektroda antara kelompok musik dan kelompok olahraga. Setelah tiga tahun, barulah kelompok musik menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Hubungan antara pengembangan musik dan bahasa adalah obyek penelitian yang paling sering diuji para ahli saraf. Kraus berteori bahwa penciptaan aransemen musik memperkuat fungsi otak non-musik, seperti kemampuan mengingat, kemampuan memperhatikan, kemampuan berbahasa dan kemampuan membaca. Dia percaya bahwa cara otak menyerap dan menandai perbedaan nada suara juga membantu orang memahami dan menginterpretasikan bahasa dengan lebih baik.
USNEWS | AMANDRA MUSTIKA