TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Alhilal Hamdi mengatakan pemerintah tidak memiliki visi yang sama dalam menyelesaikan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia di Papua. Ia menyoroti kelakuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said yang menyetujui perpanjangan kontrak perusahaan tambang asal Negeri Abang Sam tersebut.
"Menteri ESDM jalan sendiri. Dia seperti tidak paham apa yang harus dilakukan untuk membuat Indonesia memperoleh keuntungan yang lebih banyak," kata Alhilal dalam forum diskusi “Rakyat Menuntut Hak kepada Freeport” di Cikini, Ahad, 25 Oktober 2015.
Praktisi pertambangan ini mengatakan Sudirman tidak mengerti strategi. Pasalnya, saat ini saham Freeport tengah melejit sehingga divestasi Freeport dianggap tidak menguntungkan. Ia berpendapat, seharusnya Freeport menjual saham ke Indonesia dengan nilai yang serendah-rendahnya.
Pada 7 Oktober 2015, Menteri ESDM Sudirman Said mengirim surat kepada Freeport. Surat ini menyatakan PT FI dapat terus melanjutkan kegiatan operasinya hingga 30 Desember 2021.
Lalu, pada 14 Oktober 2015, Freeport mengajukan penawaran kontrak kepada Indonesia. Pemerintah mempunyai waktu 90 hari untuk melakukan penawarannya. Freeport menambah investasi sebelum habis masa kontrak untuk mempersiapkan pembangunan tambang bawah tanah terbesar di dunia dengan kedalaman 1.300-3.000 meter.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies Marwan Batubara, perpanjangan izin kerja Freeport ini sebenarnya mempunyai dua dampak sekaligus. Jika dihentikan, pemerintah seperti mengkhianati peraturan sendiri. Apabila melanjutkan kontrak, penerimaan negara akan bertambah dan lapangan kerja meningkat.
Namun, kata Marwan, jika pemerintah akhirnya memutuskan untuk memperpanjang kontrak, seharusnya Indonesia diberikan proporsi saham yang lebih besar. Saat ini, saham Indonesia di Freeport hanya 9,3 persen.
MAYA AYU PUSPITASARI