TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Adat Muara Tae, Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, mendesak Presiden Joko Widodo menghentikan intimidasi dan ancaman pembunuhan terhadap mereka. Ancaman itu diduga dilancarkan perusahaan kelapa sawit PT Borneo Suryo Mining Jaya (BSMJ).
Ketua Perkumpulan Adat (Kaoem Telapak) Zainuri Hasyim mengatakan masuknya PT BSMJ di kampung mereka telah menyebabkan munculnya intimidasi dan ancaman pembunuhan bagi masyarakat adat Muara Tae, yang memilih tidak melepaskan lahannya kepada perusahaan tersebut.
Zainuri berharap andilnya Presiden Jokowi dapat menuntaskan penderitaan masyarakat, sekaligus preseden bagi penyelesaian konflik yang menimpa masyarakat adat di tempat lain. “Sudah saatnya Presiden turun tangan menuntaskan permasalahan yang telah berlangsung sejak 45 tahun lalu ini,” ujar Zainuri, Rabu, 29 Juni 2016.
Konflik itu kembali muncul saat tokoh masyarakat adat Muara Tae, Petrus Asuy, mendapat surat panggilan kedua dari Kepala Kepolisian Sektor Jempang pada 22 Juni 2016. Ia diminta menghadiri pertemuan mediasi atas permintaan PT BSMJ terkait dengan klaim lahan masyarakat adat di Kampung Muara Tae.
Petrus Asuy diminta menandatangani dokumen verifikasi lahan yang dilakukan pengurus kampung dan PT BSMJ. Namun, melalui surat balasan atas pemanggilan Kapolsek, pada 23 Juni 2016, Petrus Asuy menegaskan bahwa dia tidak akan menghadiri pertemuan mediasi tersebut.
Sebabnya, menurut Petrus, Kepala Polsek tidak seharusnya melakukan mediasi yang bukan kesepakatan kedua belah pihak. Petrus beranggapan dokumen verifikasi terkait dengan klaim kepemilikan lahan ini tidak valid. Selain itu, permasalahan ini sudah diproses di tingkat nasional melalui Komnas HAM dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Akibat menolak hadir, tokoh masyarakat Muara Tae lainnya, Masrani, mengaku mendapat intimidasi dan ancaman pembunuhan dari kelompok perusahaan. "Kami membutuhkan perlindungan hukum," ucapnya.
Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan menyatakan Inkuiri Nasional Komnas HAM RI telah menemukan beragam pelanggaran HAM yang dilakukan PT BSMJ. Yakni menggunakan aparat keamanan menjadi mediator sengketa klaim di antara sesama warga masyarakat adat.
Mediasi itu tanpa persetujuan awal yang layak untuk proses mediasi yang adil dan berimbang. “Pemerintah harus menghentikan pelanggaran HAM ini, termasuk upaya-upaya mengalihkan perampasan tanah adat Kampung Muara Tae oleh PT BSMJ menjadi sengketa lahan di antara warga masyarakat adat,” ucap Abdo.
Konflik agraria di Kampung Muara Tae terjadi sejak 1971. Bahkan hingga kini konflik bertambah banyak dan tidak satu pun terselesaikan. Sejak 1971, Kampung Muara Tae dengan luas 12 ribu hektare telah disekat-sekat oleh enam perusahaan.
Kehadiran sejumlah perusahaan ini memicu konflik agraria berkepanjangan akibat penolakan masyarakat terhadap perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI), perkebunan kelapa sawit, dan perusahaan yang tambang silih berganti menguasai lahan dari Suku Dayak Benuaq ini.
Adapun Tempo tengah berusaha meminta konfirmasi kepada manajemen PT Borneo Suryo Mining Jaya terkait dengan sengketa kepemilikan lahan itu.
DESTRIANITA KUSUMASTUTI