TEMPO.CO, Jakarta-World Bank Managing Director and Chief Operating Officer Sri Mulyani Indrawati menyoroti gejolak perekonomian global yang menjadi tantangan negara berkembang, khususnya Indonesia. Menurut dia gejolak ekonomi global menjadi fokus utama lembaganya untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem di negara-negara berkembang.
Sri menceritakan pengalamannya ketika bertemu dan membahas masalah pembangunan di negara-negara anggota World Bank. Ketika itu Bank Dunia mengevaluasi opsi-opsi kebijakan dalam konteks politik di negara berkembang.
Sri ingin Indonesia dapat bersaing di kawasan regional maupun global. "Kami mengkhawatirkan mengenai rapuhnya pertumbuhan ekonomi dunia yang sering disertai gejolak," ujar Sri saat memberikan kuliah umum di Auditorium Djoko Soetono, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok, Selasa, 26 Juli 2016.
Pada Juni lalu, kata dia, World Bank telah merevisi proyeksi pertumbuhan dunia ke 2,4 persen atau turun dari proyeksi Januari yang sebesar 2,9 persen. Menurut Sri, melambatnya pertumbuhan ekonomi Cina serta perubahan struktur ekonominya sangat berpengaruh terhadap kondisi perekonomian dunia.
Dia mencontohkan, pelemahan ekspor ke Cina juga turut melemahkan ekonomi negara-negara berkembang. "Argentina memiliki 35 persen ekspor ke Cina, Indonesia 11 persen ekspor ke Cina," kata dia.
Hal serupa dialami negara-negara di Amerika Latin, Afrika, Asia Tengah, serta Asia Tenggara. Sri berujar negara-negara berkembang yang selama dua dekade terakhir menjadi mesin pertumbuhan dunia, saat ini menghadapi tantangan berat. "Ibarat badai yang datang bersamaan secara sempurna atau perfect storm," ucapnya.
Sri menjelaskan perfect storm yang dimaksud adalah melemahnya perekonomian dan perdagangan dunia, perlambatan dan perubahan struktural eknomi Cina, rendahnya harga-harga komoditas, menurunnya aliran modal ke negara berkembang, meluasnya konflik dan serangan terorisme, serta perubahan iklim global. "Negara-negara pengekspor komoditas, dengan jutaan penduduk miskin, mengalami pukulan paling keras," kata dia.
Sebanyak 40 persen revisi penurunan ekonomi dunia berasal dari kelompok negara-negara tersebut. Kondisi itu, menurut dia, memerlukan kerjasama yang semakin erat dan kuat serta koordinasi kebijakan antarnegara. Kerjasama ini diharapkan dapat membangun kembali kepercayaan dan menghilangkan halangan perdagangan serta investasi untuk menunjang produktivitas dan memulihkan pertumbuhan ekonomi.
GHOIDA RAHMAH