TEMPO.CO, Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menemukan sejumlah pola pelanggaran dalam pelaksanaan Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) online pada 2016. Daerah sekitar Jakarta diindikasi menjadi lahan subur praktek kotor tersebut.
Pelanggaran yang ditemukan lembaga pemantau pelayanan publik ini antara lain rekayasa nilai pada PPDB online, penyalahgunaan wewenang dan jabatan pegawai instansi pendidikan, penambahan kuota bangku sekolah di luar prosedur, hingga pungutan liar.
"Indikasi kuatnya (ditemukan) di Depok, Bekasi, Tangerang Selatan, Sulawesi Selatan. Kota Bandung dan Subang juga ada," kata Asisten ORI Bidang Pendidikan Zainal Mutaqqin di gedung pusat ORI, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat, 2 September 2016.
Temuan tersebut disimpulkan ORI setelah memeriksa seluruh laporan yang terkumpul di Posko Pengaduan PPDB di kantor ORI pusat maupun yang berada di daerah-daerah. "Ada juga observasi ke instansi bersangkutan untuk mencari fakta dan indikasi penyimpangan," ujar Zainal.
Zainal memaparkan evaluasi pemantauan PPDB pada 2011-2016. Tiga jenis pelanggaran yang menjadi tren meliputi pungutan liar, penyimpangan prosedur, dan kelemahan kompetensi instansi pendidikan.
Komisioner ORI Ahmad Suaedy menilai pengawasan terhadap pelaksanaan PPDB masih lemah. Pemerintah daerah, menurut dia, banyak yang tidak menindaklanjuti pelanggaran itu. Suaedy mengatakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri, serta jajaran di bawahnya harus membuat saluran pengaduan khusus terkait dengan pelaksanaan PPDB. "Agar segala aduan masyarakat soal PPDB bisa langsung direspons secara cepat,” tutur Suaedy.
ORI, kata dia, mendorong setiap daerah membangun sistem PPDB yang lebih terbuka. "Bisa dengan sosialisasi kepada publik, soal jumlah kuota atau bangku yang disediakan di sekolah-sekolah, minimal dua bulan sebelum pelaksanaan PPDB."
Panitia PPDB, ujar Suaedy, juga harus lebih transparan melaporkan kuota penerimaan dan zonasi sekolah. Dia pun meminta pemerintah lebih giat mendorong pemerataan kualitas sekolah-sekolah di daerah. "Sehingga tidak ada lagi sekolah yang bangku kosongnya masih banyak karena calon peserta didik lebih memilih sekolah favorit dibanding yang ada di lingkungannya,” tuturnya.
YOHANES PASKALIS