TEMPO.CO, Yogyakarta - Kaum remaja kini banyak yang menjadi penggemar busana berbahan kain batik karena motif-motifnya yang inovatif dan berkesan “gaul”. Namun ada inovasi motif batik yang membuat Mari S. Condronegoro, penulis buku Memahami Busana Adat Keraton Yogyakarta, gemas. Ia mengatakan masih ada remaja yang salah kaprah dalam mengenakan motif batik.
Dia mencontohkan, penggunaan motif segi empat kecil yang diberi dua garis sehingga membentuk motif empat potongan segitiga. Dalam dunia batik, motif itu disebut slobog. Motif ini kadang diberi selingan motif lain, seperti parang, agar manis dan gaul. Motif slobog tengah populer di kalangan anak muda. Padahal, kain batik bermotif slobog hanya dipakai untuk menutupi jenazah atau alas peti jenazah.
“Remaja mengenakan slobog ke acara apa saja, termasuk perkawinan. Ini mau melayat?” kata Mari saat ditemui Tempo di tengah pameran Jogja International Batik Biennale 2016 di Jogja Expo Center, Bantul. Dia menambahkan, kata slobog berasal dari bahasa Jawa, lobok, yang berarti longgar. Pesan yang ingin disampaikan melalui slobog adalah permohonan agar arwah lancar dalam menghadap Sang Pencipta.
Kesalahan lainnya adalah pengenaan kain batik bermotif babon nglubuk di ruang publik. Menurut cucu almarhum Sultan Hamengku Buwono VII ini, motif babon nglubuk hanya dikenakan oleh ibu hamil saat peringatan tujuh bulan kehamilan atau mitoni.
Babon adalah sebutan untuk ayam betina dalam bahasa Jawa. Filosofinya, aktivitas babon adalah mengerami telur bakal calon anak-anaknya sebagaimana tergambar pada kain, yaitu ayam betina yang tengah duduk dengan bulu bagian ekor mengembang indah. Motif itu mengandung harapan supaya bayi yang dikandung ibu lahir tepat waktu.
Kesalahan ini, ujarnya, bisa jadi muncul karena banyak orang yang tak memahami motif batik yang dikenakannya. Kemungkinan lain, pemakainya tidak mau tahu karena sudah telanjur suka dengan motifnya. “Padahal ornamen batik mengandung filosofi daur kehidupan manusia dari kelahiran hingga kematian,” dia berkata.
Desainer sekaligus perajin batik Yogyakarta, Afif Syakur, mengakui asal-muasal budaya batik belum jelas. Hanya, sebuah dokumen tentang batik yang diistilahkan dengan serat batik ditemukan di keraton. Dari dokumen tersebut, diperkirakan batik berkembang dari dalam keraton. Di masa lalu, tak hanya harus pandai menari, anak-anak raja juga harus bisa membatik.
Pada awalnya, pengguna batik terbatas pada keluarga keraton. Lama-kelamaan, orang-orang kaya di luar keraton yang didominasi kaum pedagang pun ingin mengenakan batik. Dengan begitu, motif batik berkembang di luar tembok keraton, yang dikenal dengan istilah batik sudagaran. Meski motifnya terus berkembang, ada sejumlah motif yang hanya boleh dikenakan oleh raja dan keluarganya yang diistilahkan dengan batik larangan.
Misalnya, batik motif kawung yang berwujud empat elips berimpitan pada salah satu ujungnya dan membentuk bunga. Filosofi motif ini adalah harapan agar manusia ingat asal-usulnya. Motif huk yang merupakan embrio burung bouraq melambangkan rahasia Tuhan. Tidak seorang pun mengetahui rahasia Tuhan kecuali wakilnya di dunia, yaitu raja dan putra mahkota.
Motif parang mengandung harapan agar pemakainya tak mudah putus asa. Hal itu ditandai dengan citraan miring yang saling menyambung dan tidak putus. Semakin besar motif parangnya semakin tinggi jabatan kebangsawanannya. Sedangkan motif semen terdiri atas beberapa motif yang menggambarkan kesempurnaan hidup. Biasanya dikenakan oleh raja dan anak-anaknya.
Aturan penggunaan batik larangan menjadi sangat longgar ketika Hamengku Buwono IX bertakhta. Para tamu dari luar keraton yang hadir dalam hajatan keraton tak dipersoalkan jika mengenakan motif larangan. “Aturan itu hanya berlaku untuk keluarga keraton dan panitia. Untuk tamu luar tidak diperhatikan,” kata Mari.
Seiring dengan kelahiran batik sudagaran, motif batik di keraton pun berevolusi. Dalam satu kain tak hanya digambarkan satu motif, melainkan diselingi dengan motif lain tanpa menghilangkan filosofi dan peruntukannya. Contohnya ialah motif kawung diselingi ceplok keong.
Bagi Afif, batik sudah menjadi komoditas ekonomi, bukan lagi komoditas budaya yang berkesan kuno. Sejak proses membatik diakui UNESCO sebagai warisan tak benda dunia, batik bukan lagi milik Indonesia semata, melainkan dunia.
Teknologi rintang warna (pewarnaan celup) untuk membuat ornamen batik dengan bahan malam atau lilin ternyata juga banyak terdapat di berbagai negara. Motif batik kini kian inovatif sehingga mengalami pergeseran peruntukan. Batik tak sekadar dikenakan untuk hajatan perkawinan atau pergi ke kantor, melainkan bisa dikenakan untuk kegiatan apa saja. “Asalkan inovasinya sesuai pakemnya, dengan canting atau cap,” kata Afif. Salah satu dampaknya, desainer pun mempopulerkan motif slobog sebagai motif batik gaul anak-anak muda.
PITO AGUSTIN RUDIANA (YOGYAKARTA)
Berita lainnya:
Sering Berfoto Selfie? Hati-hati Terkena Gangguan Jiwa
RA Jeans, Lini Busana Milik Raffi-Gigi, Go International
Yeezy Kanye West Paling Banyak Libatkan Model Berkulit Hitam