TEMPO.CO, Denpasar - Setelah menambatkan 401 kapal di Pelabuhan Benoa, Bali, selama sebulan sejak 1 Oktober 2016, pengusaha eksportir ikan tuna yang tergabung dalam Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) berencana kembali melepas kapal pada Selasa, 8 November 2016. Sekretaris Jenderal ATLI Dwi Agus Siswa Putra mengatakan keputusan itu terpaksa diambil untuk memenuhi kebutuhan hidup anak buah kapal (ABK).
"Sudah ada kesepakatan di ATLI bersama anggota kami lepas kapal. Pertimbangan kami, karena sosial ekonomi bagi pekerja," katanya seusai diskusi publik yang bertajuk “Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk Siapa?” di Sanur, Denpasar, Sabtu, 5 November 2016.
Menurut dia, keputusan itu murni permintaan ABK. Dwi mengaku pasrah terhadap sanksi yang bakal mereka hadapi atas keputusan itu berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan Nomor 57 Tahun 2014. "Kalau ditangkap lagi, ya, sudah mau bagaimana lagi, terserah pemerintah. Kalau ditangkap, kasih saja kapalnya," ujarnya.
Menurut dia, larangan transshipment yang diberlakukan selama ini tidak efektif. “Persoalan transshipment tidak ada solusi,” katanya. Asosiasi tetap menginginkan transshipment untuk menjaga mutu ikan. "Kami tiga sampai enam bulan operasional di laut. Ikan kami fresh minimal 17 hari sudah di negara pengimpor, Jepang,” ucapnya.
Selain itu, ujar dia, solusi yang ditawarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan kapal penyanggah dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan Asosiasi. Sebab, kapal tangkap beroperasi tidak boleh lebih dari tiga bulan. “Kalau pakai kapal penyanggah tiga bulan harus balik, itu tidak sesuai dengan target, karena kapal longline bermain di atas 60 mil, itu jauh sekali," tuturnya.
Apalagi, kata dia, izin kapal penyanggah harus disertai tanda tangan TNI dan Polri. "Ngapain TNI Polri diajak, kami pengusaha tahu sendiri, asalkan sudah tanda tangan MOU. KKP kan punya pengawasan," katanya.
BRAM SETIAWAN