TEMPO.CO, Jakarta - Keriuhan yang ditimbulkan dua puluhan bocah di NTO Daycare di Mal Taman Anggrek, Jakarta Barat, itu menenggelamkan obrolan kami. Novita Tandry, pemilik sekolah bermain itu, mengajak Tempo pindah ke ruangannya.
"Di sini, kami membiarkan anak-anak bermain, tidak dilarang berlari dan berteriak," ujar Novita membagi resepnya mendidik anak usia dini. "Hanya saja mereka harus bertanggung jawab dengan apa yang mereka lakukan."
Baca Juga:
Tanggung jawab menjadi satu kuncinya. Ada banyak bentuk pembelajaran tanggung jawab. Contohnya, lewat buang air besar. Pakar pendidikan anak lulusan University of New South Wales, Sydney, ini membiasakan anak-anak didiknya untuk melihat feses mulai usia 2 tahun. Bentuk tinja yang baik, menurut dia, adalah yang padat dan berwarna agak jingga. Jika yang keluar saat itu berbeda, dia menambahkan, anak-anak asuhnya harus mengingat apa saja yang mereka konsumsi. "Mungkin saja bukan makanan sehat," ujar Novita.
Novita-penulis lima buku perilaku dan kesehatan anak, terakhir Happy Parenting with Novita Tandry yang terbit Juni lalu-mendirikan Super Tots, sebelumnya Tumble Tots, pada 1993. Awalnya, mereka menggunakan kurikulum dari Inggris. Beberapa tahun kemudian, Novita mengubahnya dengan alasan beberapa nilai Barat tidak sesuai dengan budaya Indonesia, misalnya memanggil ayah dengan namanya.
Seiring dengan waktu, dia membawa lebih banyak merek pendidikan luar negeri. Kini, NTO International, perusahaan induk miliknya, membawahkan tujuh sekolah, yaitu NTO Day Care, Super Tots, Leaps & Bound, Right Steps Kindergarten, Right Starts, dan Indonesia Teacher Academy. Secara total, ada 41 cabang, dari Jakarta sampai Sorong.
Menurut Novita, sebanyak 70 persen porsi pembelajaran anak didapat dari lingkungannya. Sosok yang menjadi panutan utama bagi anak-anak adalah orang tuanya. Untuk itu, dia berharap orang tua ikut serta dalam setiap fase pendidikan. "Jangan pernah katakan tidak ada waktu untuk anak-anak," ujar dia. "Ganti sekadar kata 'cinta' untuk anak dengan waktu untuk mereka. Jangan sampai anak kehilangan kita sebagai orang tua dan menggantikannya dengan sosok lain," katanya.
Novita juga mengajak orang tua untuk meluapkan cintanya lewat asupan gizi untuk anak-anaknya. Perempuan yang juga belajar gizi klinis di sekolah gizi Rai Institute dan Martha Tilaar ini mengolah sendiri menu untuk anak-anak didiknya. Bukan cuma kandungan nutrisi yang dia perhatikan, tapi juga cara memasaknya. Di sekolah-sekolahnya, semua alat masak terbuat dari titanium.
Pertimbangan Novita, logam ringan dan tahan korosi itu bahan yang paling bisa diterima oleh tubuh. Dia menganalogikannya dengan pemasangan pen titanium untuk tulang patah. "Pen tertanam di dalam tubuh bertahun-tahun, tapi tidak membahayakan," kata dia. Masakannya dikukus, dipanggang, atau disangrai. Dia menghindari minyak goreng untuk meminimalkan masuknya lemak ke tubuh.
Menurut Novita, obesitas-yang makin banyak menyerang anak Indonesia-bukan disebabkan faktor genetis, melainkan gaya hidup yang diturunkan orang tuanya. Dia mencontohkan kebiasaan makan bersama keluarga yang kerap menyuguhkan makanan tidak sehat. "Karena itu, pengertian tentang makanan sehat sudah diajarkan sedini mungkin, mulai 6 bulan sampai 6 tahun," ujar ibu dua anak yang fitness empat kali sepekan ini. Tujuannya, untuk membentuk kebiasaan si anak sampai dewasa nanti.
Berita lainnya:
Berkat Kelereng, Harli Jordean Jadi CEO Termuda di Dunia
Juanita Aditiawan, Sukses Bawa Make-up Indonesia ke Ethiopia
Cerita Cinta Gita Sjahrir tentang Sepeda Statis Dalam Ruangan