TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Dani Setiawan, mengatakan tekanan fiskal terhadap pemerintah saat ini semakin besar karena penerimaan negara masih jauh dari target. Hal itu, menurut dia, membuat pemerintah tidak memiliki pilihan lain selain mencari pembiayaan dari utang.
"Penerimaan pajak tak kunjung naik. PNBP (penerimaan negara bukan pajak) juga segitu-segitu saja, tidak bisa diandalkan. Pemerintah tentu akan memilih mencari pinjaman dengan menerbitkan obligasi," kata Dani dalam diskusi di Kedai Tjikini, Jakarta Pusat, Ahad, 18 Desember 2016.
Saat ini, menurut Dani, imbal hasil obligasi Indonesia tertinggi di Asia, yakni sekitar 7 persen. Di tengah kondisi tersebut, Dani menilai, jumlah utang yang harus dibayar pemerintah akan meningkat dengan semakin bertambahnya kebutuhan pembiayaan untuk defisit yang diambil dari obligasi.
Apalagi, kata Dani, suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed naik sehingga investor akan lebih memilih obligasi AS dibanding obligasi pemerintah. "Mau enggak mau, kita akan tawarkan lagi imbal hasil yang lebih tinggi. Kalau utang makin besar, beban cicilan pokok dan bunga utang juga naik," ujar Dani.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, mengatakan bunga obligasi pemerintah memang tinggi dibanding negara-negara lain dengan bunga obligasi di bawah 5 persen. "Kalau beban utang terus meningkat, generasi mendatang yang akan mewarisi utang tersebut," katanya.
ANGELINA ANJAR SAWITRI