Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Universitas Australia Menghadapi Ancaman Dari PT di China

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan

Australia sudah berhasil mengembangkan universitas yang mencetak banyak sarjana bagi para mahasiswa asing, namun China yang sudah dikenal sebagai 'pabrik dunia' sekarang mulai menunjukkan bahwa mereka juga bisa menyediakan pendidikan tinggi yang sama baiknya.

Dalam YouTube video ini seorang anak muda sedang membaca buku berbahasa Mandarin di perpustakaan, belajar menulis aksara China, dan memperkenalkan diri dalam bahasa Mandarin.

Baca Juga:

Dia adalah seorang pemuda berusia 20 tahun dari Sumatera Selatan, yang sedang belajar di Wuxi Institute of Technology, sedikit di luar kota Shanghai.

Dia mengakui belajar bahasa Mandarin memang susah, namun juga menambahkan sekarang Mandarin adalah bahasa yang paling banyak digunakan di dunia, dengan bahasa Inggris berada di peringkat kedua.

Mahasiswa Indonesia lainya yang sedang belajar di China, dalam video YouTube lainya menekankan mengenai kekayaan sejarah China dahulu, kebangkitannya sekarang dan pengaruhnya yang kuat di masa depan.

Baca Juga:

Salah seorang mahasiswa Indonesia mengatakan masih banyaknya arsitektur China yang menghiasi kota-kota di sana.

Budaya China masih murni katanya .

Seorang lain lagi menegaskan bahwa China sekarang lebih maju, dari Eropa dan sekarang meminmpin di bidang teknologi.

Dan belajar di sini, kata yang lain, dan kita dan negeri asal kita bisa bangkit, seperti yang sudah dilakukan China.

Budaya China, kata para mahasiswa Indonesia ini mementingkan pendidikan.

Seorang mahasiswa menterjemahkan peribahasa China yang menyebutkan mengenai 'tidur cepat, bangun cepat' dan kemudian menambahkan 'belajar cepat' sebagai salah satu karakter China sekarang ini.

Yang lain menggambarkan adanya semangat , untuk belajar di berbagai kampus China, dengan perpustakaan China selalu dipenuhi dengan mahasiswa bahkan di akhir pekan sekalipun.

Australia sudah menanamkan banyak modal untuk bisa menarik banyak mahasiswa asal Asia guna belajar ke sini.

Pendapatan dari para mahasiswa tersebut menjadi salah satu sumber utama pemasukan bagi berbagai universitas.

Institusi pendidikan di Australia akan terus berusaha menarik para mahasiswa dari negara-negara Asia yang semakin makmur, khususnya dari India dan negara-negara ASEAN.

Namun sekarang muncul pesaing yang pantas diperhatikan yaitu China.

Jumlah mahasiswa asing semakin banyak ke China

Mahasiswa asal ASEAN dan India yang masuk ke universitas di China meningkat pesat.

Sekarang ini ada sekitar 80,000 mahasiswa ASEAN di China di tahun 2016, baik 15 persen dari dua tahun sebelumnya.

Ini termasuk 14 ribu mahasiswa Indonesia (sementara mahasiswa Indonesia berjumlah 20,000 di Australia).

Mereka yang berasal dari India berjumlah sekiar 18 ribu orang, lebih banyak dari mahasiswa India di Inggris.

China besar kemungkinan akan memiliki 500 ribu mahasiswa asing di tahun 2020.

Salah satu alasan mengapa semakin banyak yang tertarik belajar ke China adalah uang sekolah dan biaya hidup yang lebih rendah, Beijing juga banyak menyediakan beasiswa.

Namun faktor lain juga adalah faktor budaya.

Students study in a library at China's Tongji University.
Perpustakaan di universitas China semakin bagus kualitasnya.

Flickr: Matthias Ripp, CC BY 2.0

Mahasiswa asing suka dengan China yang semakin modern

Selama berabad-abad, penduduk dari Asia sudah tertarik dengan kehidupan di China dan banyak yang ingin belajar dari negeri itu.

Kelemahan China di abad ke-19 membuat perhatian kemudian berpaling ke Barat dan Jepang.

Namun pola lama itu kembali muncul lagi di pertengahan abad ke-20 ketika negara-negara Asia yang baru merdeka memalingkan perhatian lagi ke China untuk mencontoh pola pembangunan mereka.

Mahasiswa Indonesia di China suka dengan China yang sekarang ini semakin modern, dengan stasiun dan kereta bawah tanah, dan bisnis e-commerce .

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mereka mengatakan belajar di Cina akan membantu mereka membuka bisnis dan mengurangi pengangguran di negeri mereka sendiri.

And mereka juga mengungkapkan kepuasan dengan struktur dan isi dari program studi mereka di China.

Pendapat bahwa China adalah negara yang memliki budaya besar, semakin modern, dan juga memberikan banyak beasiswa semakin membuat banyak mahasiswa asal Asia untuk belajar ke sana.

Jumlah mahasiswa internasional sekarang ini mencapai angka tertinggi di Australia.

Mungkin ada yang beranggapan bahwa posisi Australia sebagai kekuatan utama penyedia fasilitas pendidikan di kawasan tidak akan bisa disaingi, bahwa kelas menengah Asia akan terus mencari pendidikan di negara-negara Barat.

Asumsi seperti itu bisa jadi hanya akan berlangsung tidak lama, sama seperti pemikiran sebelumnya bahwa booming di bidang pertambangan akan berlangsung selamanya.

Banyak mahasiswa internasional dari Asia di Australia sudah menyampaikan ketidakpuasannya mengenai pendidikan mereka.

Banyak yang merasa terisolir ketika berada di Australia, mereka hidup bersama tapi tidak bercampur dengan masyarakat Australia lainnya dengan tinggal di asrama yang hanya diperuntukkan bagi mahasiswa internasional.

Sementara itu di banyak institusi pendidikan di China, setelah pada awalnya mahasiswa internasional tinggal terpisah, mereka sekarang ditempatkan di perumahan yang terintegrasi dengan yang lain .

Tertiary students at the University of Melbourne in Melbourne
Keunggulan Australia menarik mahasiswa internasional tidak bisa berlangsung selamanya tanpa perbaikan.

AAP: Julian Smith

Mahasiswa internasional asal Asia juga semakin tidak puas dengan apa yang mereka lihat menurunnnya kualitas universitas Australia.

Dana bagi universitas di Australia tidak bertambah selama 40 tahun terakhir, dan pemotongan akan terus berlangsung, dan dampaknya mendapat banyak diskusi di forum meda sosial media China, WeChat.

Sementara itu, universitas di China semakin banyak memiliki perpustakaan dan lab yang semakin bagus — mahasiswa Indonesia memuji fasilitas kampus di China — dan tenaga pengajar semakin banyak yang bagus kualitasnya.

Namun Australia masih memiliki keunggulan dalam menarik para mahasiswa terbaik dari Asia untuk belajar di sini.

Australia adalah negara demokrasi liberal di kawasan dimana kebebasan berpendapat masih tidak sepenuhnya bebas.

Bagi mahasiswa asal Indonesia yang sudah mengalami kebebasan pers yang begitu luasnya di negeri sendiri, masalah paling besar yang mereka hadapi di China adalah sensor internet oleh pemerintah.

Para mahasiswa di China yang kadang ingin melakukan penelitian mengenai topik yang 'sensitif' sering mengalami penolakan.

China mungkin lebih maju dalam hal seperti e-commerce, namun sensor seperti yang mereka lakuikan bisa membuat orang tidak tertarik.

Turnbull celebrate Chinese New Year with Australian Chinese Community
PM Australia Malcom Turnbull merayakan Imlek bersama masyarakat China Australia.

Supplied: Li Jianmin

Daya tarik budaya Australia bisa menurun

Dan Australia pada awalnya dimulai dengan menjadi masyarakat multikultural yang membuka kesempatan pada mahasiswa internasional untuk bekerja, harus bisa mempertahankan daya tarik tersebut.

Namun bukannya semakin memperkuat, yang terjadi adalah penurunan.

Semakin banyaknya pertanyaan yang diungkapkan para politisi mengenai kehidupan multikultur, dan pengetatan persyaratan menjadi warga negara membuat daya tarik budaya Australia menjadi menurun.

Australia sudah berhasil mengembangkan universitas yang mencetak banyak sarjana bagi para mahasiswa asing.

Tidaklah mengejutkan bahwa China - pabrik dunia - akan bisa melakukannya lebih baik nantinya?

David Fettling adalah penulis buku Encounters with Asian Decolonisation.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada