Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Penemuan Bukti-bukti Kekerasan Polisi Saat Unjuk Rasa Omnibus Law Cipta Kerja

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan

Ketika berangkat menuju lokasi demonstrasi Omnibus Law, Edo*, seorang relawan medis asal Bandung tidak mengira situasinya akan menjadi "sangat kacau".

"Begitu gelap, kebrutalan aparat penegak hukum ini mulai," kata Edo.

Baca Juga:

"Oknum-oknum aparat penegak hukum beraksi, memukuli semua orang yang berada di lokasi ketika sedang berkumpul. Siapapun itu."

Tidak lama setelahnya, Edo dan seorang relawan lain juga mengalami kekerasan.

Baca Juga:

"Dan saya ingat, ada satu pasien dalam mobil [lain] yang ditarik paksa. Saya tidak tahu kondisinya karena pintu belakang ditutup dan pecah."

Terkejut dan siaga, Edo segera berinisiatif untuk mengunci semua pintu ambulan dan menyelamatkan diri ketika ada kesempatan.

Ratusan kilometer dari Bandung, tepatnya di Surabaya, seorang wartawan CNN Indonesia, Miftah Farid Rahman juga menyaksikan dan mengalami kekerasan verbal dari polisi.

Saat itu, Miftah yang bertugas meliput di Gedung Negara Grahadi hari Kamis (8/10) berinisiatif untuk memotret penangkapan beberapa massa aksi.

Namun, anggota polisi segera menghampirinya.

"Saat memotret, sejumlah anggota polisi mengerubuti saya. Mereka mengancam dan memaksa saya menghapus foto di handphone," kata Miftah.

Foto Jurnalis
Foto yang diambil wartawan CNN, Miftah Farid Rahman di sisi selasar timur belakang Gedung Grahadi. Wajah korban telah dikaburkan oleh ABC Indonesia.

Foto: Miftah Farid Rahman

Selama meliput, Miftah tetap diikuti polisi dan sempat dikerubuti oleh lima hingga enam anggota polisi muda.

"Hapus fotonya atau mas mau saya pentung!" ujar seorang polisi yang menurut Miftah memiliki patch nama Fatkhur.

Tidak lama setelahnya, Miftah meninggalkan lokasi.

'Gagal menjaga keselamatan masyarakat'

Polisi kekerasan UU Cipta Kerja
Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja di di depan Gedung Grahadi, Surabaya, berakhir ricuh setelah polisi menembakkan gas air mata untuk memukul mundur para pengunjuk rasa yang merusak fasilitas gedung.

Tribun News, Surya/Ahmad Zaimul Haq

Amnesty International Indonesia menemukan jika sejumlah anggota polisi di berbagai daerah di Indonesia "telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang mengkhawatirkan".

Pernyataan ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, setelah badan tersebut memverifikasi 51 video yang menggambarkan 43 insiden kekerasan oleh polisi Indonesia selama aksi unjuk rasa di tanggal 6 Oktober hingga 10 November 2020.

Usman Hamid
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia mengatakan insiden penolakan Omnibus Law mengingatkannya pada kekerasan brutal terhadap mahasiswa Indonesia di akhir masa rezim Soeharto.

Foto: Koleksi pribadi

Sebelumnya, Amnesty International Indonesia telah mendokumentasikan setidaknya 402 korban kekerasan polisi dalam unjuk rasa penolakan Omnibus Law Cipta Kerja di 15 provinsi Indonesia.

Menurut data badan tersebut, unjuk rasa yang dilakukan daring pun ditanggapi dengan intimidasi, dengan 18 orang dari tujuh provinsi ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) di periode 7-20 Oktober 2020.

"Insiden ini mengingatkan kita pada kekerasan brutal terhadap mahasiswa Indonesia 22 tahun yang lalu, di akhir masa rezim Soeharto," kata Usman.

"Pihak berwenang harus belajar dari masa lalu bahwa rakyat tidak pernah takut untuk menyuarakan hak mereka."

External Link: Instagram Unjuk Rasa
Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meski tidak mengalami cedera, kepada ABC Indonesia Edo mengaku trauma karena melihat warga di depan, belakang, kanan, dan kirinya ketika di lokasi "dipukuli".

Selain itu, ia juga mendengar kata-kata kasar yang diarahkan padanya dan mahasiswa yang berpartisipasi dalam unjuk rasa tersebut.

"Ada trauma," kata Edo yang juga adalah seorang aktivis dan pernah turun ke lapangan dalam demonstrasi tahun 1998.

"[Waktu itu] nyaris sekali kaca mobil kami pecah. Kalau misalkan sampai pecah, mungkin muka saya akan sobek. Tidak tahu seperti apa."

Menurut Amnesty International Indonesia, setengah dari 51 video yang terverifikasi berisi bukti penggunaan tongkat polisi, potongan bambu dan kayu, serta bentuk pemukulan lainnya yang "melanggar hukum".

"Jika penggunaan tongkat dan peralatan sejenis tidak dapat dihindari, petugas penegak hukum harus secara jelas diperintahkan untuk menghindari terjadinya cedera serius dan tidak menyerang bagian tubuh yang vital."

Timpangnya kekuatan antara polisi dan pengunjuk rasa

Tiora Pretty Stephanie, staf divisi hukum Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mengatakan bahwa "kekerasan yang dilakukan oleh aparat berada di luar asas proporsionalitas dan subsidiaritas".

"Ketika dalam pengadilan, kita diwajibkan oleh hakim untuk melihat apakah telah seimbang antara kepentingan yang dibela dan cara yang dipakai dan apakah memang tidak ada cara lain untuk membela kepentingan tersebut," katanya.

Menurutnya, minimnya evaluasi dari penggunaan "kekuatan berlebihan" oleh aparat akan memicu terbentuknya sebuah pola kekerasan dalam mengendalikan massa di masa depan.

"Polisi akan melakukan hal yang sama ketika menangani aksi-aksi berikutnya karena tidak ada evaluasi atau semacam sanksi pada polisi yang melakukan tindakan berlebihan seperti itu," ujarnya.

Habiburokhman, anggota DPR RI Komisi III tidak membenarkan penggunaan kekerasan dalam pengendalian massa dalam unjuk rasa manapun.

Namun menurutnya, minimnya laporan dari para korban menghambat proses hukum yang seharusnya dilakukan.

"Masalahnya selama ini kami mau mendorong penegakan hukum seperti itu tapi susah sekali mendapatkan informasi dan bukti dari para korban ... jadi proses hukumnya tidak berjalan," katanya.

'Perlunya reformasi institusi polisi'

Pretty dari KontraS menekankan pentingnya menyimpan catatan ketika menyaksikan kekerasan yang dilakukan oleh aparat di lapangan.

Tiora
Tiora Pretty Stephanie mengatakan perlu adanya evaluasi soal penggunaan kekuatan yang digunakan aparat hukum.

Koleksi pribadi

"Ini penting karena polisi memiliki data siapa yang mereka kirim ke tempat tersebut, tim mana yang mereka kirim ke jalan apa, dan ketika sudah tahu jam dan tempatnya, bisa melacak siapa saja nama orang dalam tim ini."

Di sisi lain, ia melihat pentingnya reformasi institusi polisi untuk mencegah terulangnya kembali tindakan kekerasan oleh polisi dalam unjuk rasa.

"Kalau misalnya penanganan aksi ini di mayoritas tempat adalah kekerasan yang dilakukan banyak aparat di mana-mana, ini bukan membicarakan aparat lagi," ujarnya.

"Ini seharusnya sudah membicarakan satu institusi kepolisian, dan bagaimana pengawasan atasan, upaya agresif apa yang sudah dilakukan, dan apakah mereka mendapatkan sanksi untuk hal itu."

*Edo adalah bukan nama sebenarnya. Ia telah minta identitasnya dirahasiakan untuk alasan keamanan.

Ikuti berita seputar pandemi Australia dan lainnya di ABC Indonesia.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada