Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Lebih Dari 11 Ribu Anak-Anak Indonesia Kehilangan Orangtua Mereka Selama Pandemi

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan
Amalia Ulfa (24 tahun) bersama adiknya Raffa Abdul Maulana ditinggal kedua orang tuanya mereka yang meninggal karena COVID bulan Juli lalu. (Koleksi pribadi)

Saat orang tua Amalia Ulfa meninggal karena COVID, dia merasa hidupnya seperti hampa.

"Saya merasa hidup saya hancur berkeping-keping," katanya kepada ABC Indonesia.

Baca Juga:

Ayahnya, Karwita, meninggal di rumah tanggal 10 Juli, tujuh hari setelah dinyatakan positif mengidap COVID.

Dua hari kemudian, ibunya, Yulis Sukaryati yang dirawat di rumah sakit karena COVID juga meninggal.

"Saya dekat sekali sama mama, kemanapun pergi saya selalu menemaninya," kata Amalia lagi. 

Baca Juga:

Amalia sekarang bersia 24 tahun, dan tinggal bersama adiknya yang baru berusia empat tahun, Raffa Abdul Maulana di Kampung Samaran, Garut, Jawa Barat.

Sejak kedua orang tuanya meninggal, Amalia tidak bisa meninggalkan rumah karena dia harus mengasuh adiknya Raffa yang tidak mau ditinggal, sementara kakak Amalia lainnya sudah menikah.

Saat ini Amalia mengandalkan pendapatan dari usaha kecil keluarganya yaitu menjual tabung gas untuk memasak.

Sebelumnya, lulusan D3 bahasa Inggris ini pernah kerja selama beberapa bulan di pabrik dan sebulan sebelum orang tuanya meninggal ia bekerja di sebuah hotel di Garut.

"Penghasilan dari jualan tabung gas ini tidak akan cukup untuk hidup sehari-hari," katanya.

Kementerian Sosial Indonesia sejauh ini memperkirakan adanya 11.045 anak yang kehilangan satu atau kedua orang tua semasa pandemi sampai sekarang.

Perkiraan itu dari data yang dikumpulkan sampai akhir Juli, dengan melihat jumlah kematian di kalangan warga Indonesia yang berusia antara 19 sampai 45 tahun.

“Kalau misalkan rata-rata satu keluarga itu meninggalkan satu anak maka estimasinya seperti itu,” kata Kanya Eka Santi, Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kemensos.

Kanya mengatakan jumlah anak yang kehilangan orang tua terbanyak adalah di Jawa Timur, yakni 792 orang disusul Yogyakarta dan Jawa Barat, dengan masing-masing sekitar 500 anak-anak.

“Di tempat-tempat lain itu masih dalam proses pengumpulan yang saya kira kalau kita mempertimbangkan 34 provinsi, maka angka itu bisa cukup tinggi.”

Namun beberapa LSM independen, seperti Kawal COVID-19 dan Warga Bantu Warga memperkirakan angkanya melebihi 50 ribu orang, yang nantinya bisa menjadi korban karena meninggalnya orang tua mereka.

Erinda Pratiwi kehilangan ibunya karena COVID di Bantul, Yogyakarta beberapa bulan lalu setelah ayahnya juga meninggal 3 tahun sebelumnya.

Setelah kehilangan ibunya, Erinda tinggal bersama kakaknya, tapi  dalam dua bulan terakhir Erinda belajar di Pondon Pesantren Ngrukem di Bantul.

Di Pondok Pesantren komunikasi dengan keluarga memang dibatasi, namun Erinda sekarang betah di sana karena ada banyak teman-teman sebaya dengannya.

"Waktu di rumah saya kadang sedih melihat dia sebagai adik saya, walau saya juga memiliki anak-anak yang tidak beda jauh usianya dengan Erinda," kata Ari, kakak Erinda kepada ABC Indonesia.

"Pengetahuan agama kami tidak cukup. Kami juga khawatir Erinda karena tidak memiliki orang tua lagi. Sejauh ini dia kerasan di pondok pesantren," kata Ari mengenai alasan mengirimkan Erinda ke pondok pesantren.

Menurut Camat Banguntapan, Drs Fauzan Mu'arifin, di mana Erinda tinggal, sejauh ini ada 146 anak di Kecamatannya yang kehilangan orang tua mereka karena COVID.

Fauzan mengatakan mereka sedang berusaha melakukan pendataan untuk mencarikan bantuan, karena khawatir dengan masa depan anak-anak yang kehilangan orangtuanya.

"Anak-anak ini berpotensi putus sekolah, terlantar dan juga memicu pelaku kriminal," katanya kepada ABC.

Risiko pernikahan di bawah umur meningkat

Dengan jumlah kematian sudah melebihi 120 ribu orang sejauh ini di Indonesia, para pekerja sosial mengkhawatirkan meningkatnya jumlah anak-anak yatim piatu yang perlu mendapat bantuan pengasuhan maupun yang lain.

Dalam dua pekan terakhir, lembaga Save the Children sudah membantu sekitar 30 anak yatim piatu.

Mereka juga memberikan bantuan keuangan kepada keluarga yang mengasuh anak-anak tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“[Penting] bagi anak-anak ini tinggal dengan keluarga yang mereka kenal, bukan di panti asuhan, karena sebenarnya panti asuhan itu adalah pilihan terakhir,” kata Dino Satria, kepala program bidang kemanusiaan di organisasi tersebut.

“Anak-anak ini perlu tetap merasa aman, nyaman, dekat, dan percaya diri dengan keluarga yang mereka kenal.”

Dino mengatakan anak-anak yang kehilangan kedua orang tuanya, khususnya selama pandemi menghadapi sejumlah risiko sosial dan psikologis.

"Anak-anak yang kehilangan kedua orangtuanya ini rentan mengalami kesedihan mendalam, bahkan bisa menjadi depresi dan stress, tidak mendapat perlakuan yang baik,” katanya.

“Dan [ada] risiko tinggi untuk dinikahkan sejak dini dan juga dieksploitasi … apalagi kalau anak-anak ini jatuh ke tangan yang orang yang tidak bertanggung jawab.”

Kanya dari Kemensos RI mengatakan pernikahan anak-anak di bawah umur  sudah terjadi selama ini di beberapa bagian di Indonesia sebagai salah satu cara keluarga untuk llepas dari tanggung jawab dalam mengurusi mereka.

“Proses yang dilakukan pekerja sosial di lapangan adalah untuk mencegah. Bahkan kita berusaha menyampaikan bahwa itu adalah situasi yang buruk sekali untuk anak,” katanya. “Tapi kalau memang ada kasus-kasusnya di lapangan seperti itu, itu adalah bagian dari keterbatasan kami karena memang tenaga Kemensos sedikit, tapi juga memang ada kebiasaan yang juga sulit sekali dikendalikan di kita di mana hal-hal seperti itu adalah jalan pintas yang diambil.”

Ada ratusan anak minta bantuan

Permintaan bantuan juga disampaikan kepada sebuah kegiatan independen bernama Kawal Masa Depan.

Sejak diluncurkan tiga minggu lalu, organisasi tersebut sudah mendapat bantuan lebih dari Rp1 miliar lewat penggalangan dana secara online.

Dalam jangka panjang, mereka bermaksud memberikan dukungan kepada 10 ribu anak yatim piatu, dan sejauh ini sudah mendapatkan 600 permintaan bantuan.

Kalis Mardiasih, seorang relawan yang membantu program tersebut, mengatakan fokus inisiatif mereka adalah pendidikan dan kebutuhan sehari-hari anak-anak yatim piatu.

“Di batch pertama itu kan fungsinya merespon masa krisis. Jadi kita kasih satu juta rupiah bentuknya, baik yang santunan maupun beasiswa pendidikan,” katanya.

“Asumsinya adalah ya biar mereka bisa lanjut makan, biar bisa melanjutkan hidup."

“Tapi sebetulnya yang nantinya lulus batch 1 itu akan kita follow up untuk jangka panjangnya. Jadi harapan-harapan lebih lanjutnya itu yang nanti diverifikasi lagi dan kita mulai buat mikirin kualitas pendidikannya.”

Organisasi itu juga berusaha berhubungan langsung dengan anak-anak dan keluarga yang masih mengasuh mereka, dan tidak sekedar kontak lewat media sosial.

“Nah, kita itu menyadari keterbatasan, karena enggak semua orang connect social media, apalagi di masa krisis kan?” katanya.

“Yang klaster keluarga, di kampung-kampung, anak masih SD sekarang sebatang-kara sama nenek-kakeknya, misalnya, ini kita udah berjejaring sama salah satu kolaborator kita.”

Kalish mengatakan tanggung jawab untuk melindungi anak-anak tersebut sebenarnya adalah pada negara, menurutnya negara hanya bersifat administratif dan bantuannya membutuhkan waktu.

“Kita tetap menuntut kepada negara untuk melakukan yang terbaik … cuma kita sadar bahwa ini tuh masa krisis. Kita berangkat dari kesadaran itu, jadi keluarga-keluarga masih pada kacau ngurusin anggota keluarganya yang sakit, masih pada clueless [kebingungan],” katanya.

“Kita menyadari di masa krisis apa pun, inisiatif-inisiatif kebaikan dari masyarakat itu kan selalu ada pasti.”

Sebuah upaya yang komprehensif, mulai dari penyadaran, pencegahan juga segera dibutuhkan dari Pemerintah, menurut Dino Satria.

“Penting juga untuk melakukan penguatan kepada extended family ini yang saat ini menjadi pengasuh utama bagi anak-anak yatim piatu dan memperkuat resiliensi anak ketika adjust [beradaptasi] ke situasi yang baru.”

Di Garut, Amalia berusaha sekuat mungkin saat ini bersama adiknya untuk hidup mandiri selepas ditinggal kedua orang tuanya sebulan lalu.

Namun Amalia mengatakan mungkin nantinya dia akan memerlukan  bantuan dari kakak-kakaknya atau dari Pemerintah.

Baca laporannya dalam Bahasa Inggris

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada