Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PANIL batu andesit setinggi satu meter itu dibiarkan teronggok di atas undakan keramik. Fungsinya tak lebih sebagai atribut sebuah makam sesepuh Desa Gambyok, Kecamatan Grogol, Kediri, Jawa Timur. Itulah kondisi relief Panji yang ada di situs Gambyok kini.
Sosok Panji terpatri jelas di batu itu. Ia bertopi tekes atau blangkon tanpa tonjolan. Ia bertelanjang dada dengan penutup paha kain berlipat. Ia mengenakan gelang dan kalung.
Sosok Panji pada batu di Desa Gambyok itu sesuai dengan salah satu episode kisah Panji Semirang, yaitu saat Panji bertemu dengan kekasihnya yang pertama, Martalangu, di dalam hutan. Di situ juga terlihat Panji ditemani lima orang pengikut. Tokoh yang bersimpuh di tanah adalah Prasanta. Tokoh yang berdiri paling depan adalah Pangeran Anom, sedangkan di belakangnya Brajanata, saudara Panji berlainan ibu. Dua sosok lainnya adalah para kudeyan (teman yang selalu menjadi pengiring Panji), yaitu Punta dan Kertala.
Meski cukup dekat dengan permukiman, panil relief itu tak banyak mengundang perhatian penduduk. Mereka justru tertarik pada kuburan keramat Mbah Gedhong, sesepuh desa, yang membujur tidak jauh dari batu bersejarah itu. "Batu itu sudah ada sebelum Mbah Gedhong meninggal," kata Mbah Supainah, 85 tahun, juru kunci makam.
Panil Panji itu bahkan sempat hilang dicuri orang. Beruntung aparat kepolisian dan perangkat desa berhasil mendapatkan kembali batu andesit tersebut dari tangan pencuri untuk dikembalikan ke tempat semula. "Padahal relief Panji di Desa Gambyok lebih jelas petunjuknya dibanding relief Panji di Candi Penataran," kata Achmad Zainal Fachris, budayawan komunitas Eling Handarbeni Hangrungkepi Upaya Madya (Edhum) Kediri.
Memang, bila kita lihat relief Panji di Candi Penataran, Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, pahatannya tidak begitu jelas. Candi Penataran didirikan pada abad ke-12 sampai abad ke-15 oleh Raja Kediri, lalu dilanjutkan oleh Raja Singosari dan Raja Majapahit. Mirip panil relief di Desa Gambyok, di Penataran tergambar sosok dengan penutup kepala tekes dan kain berlipat yang menutupi paha tengah berhadapan dengan seorang pengiring yang menyuguhkan makanan.
Sejumlah relief juga memperlihatkan tokoh-tokoh dalam kisah Panji. Di antaranya sosok tinggi besar yang diidentifikasi sebagai Pangeran Anom, juga Brajanata yang berperawakan gemuk dengan rambut keriting. Hampir sebagian besar kisah Panji di Candi Penataran itu menceritakan perjalanan di dalam hutan.
Namun, menurut Bondan Siswanto, juru pemeliharaan Candi Penataran yang ditunjuk Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur, relief di altar Candi Penataran sesungguhnya menggambarkan banyak kisah. Di antaranya kisah Sri Tanjung, Sang Satyawan, Sang Gagang Aking, serta fabel (cerita binatang). Menurut Bondan, pembedaan tokoh Panji dengan tokoh lain di relief itu cukup sulit. Sebab, ciri-ciri khusus, seperti topi tekes dan penutup kain pada paha, juga terdapat pada tokoh Sang Satyawan. "Beberapa arkeolog yang datang ke sini kemudian menduga-duga mana kisah Panji di antara relief itu," kata Bondan.
Menurut arkeolog Agus Aris Munandar, memang sosok bertopi tekes tidak hanya monopoli sosok Panji. Sosok itu baru bisa dipastikan Panji bila di relief ada gambar pengiringnya. Bila kita mengunjungi Candi Surowono di Desa Canggu, Kecamatan Papar, Kabupaten Kediri, di situ juga ada relief sosok yang mengenakan tekes, tapi bukan Panji. Candi ini kini tak utuh. Sebagian batunya beralih fungsi menjadi tempat memasak, pijakan kaki (bancik) masjid, hingga pengganjal kandang ayam milik warga sekitar candi.
Masduki, 44 tahun, pengelola candi yang terletak 30 kilometer dari pusat Kota Kediri itu, menuturkan terdapat tiga cerita dalam relief tersebut, yakni Arjunawiwaha, Bubuksah, dan Sri Tanjung. "Tak ada cerita Panji di sini," kata Masduki. Di salah satu relief candi yang diperkirakan berdiri abad ke-15 itu ada sosok yang menyerupai Panji, yaitu Sidapaksa, yang tergambar dalam satu panil bersama-sama Sri Tanjung. Pria itu mengenakan tekes serta bertelanjang dada dengan kain berlipat di bawah perut, dengan kaki kiri menyilang di atas lutut.
Orang bertopi tekes tapi bukan Panji juga terlihat di relief Candi Jago di Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Candi Jago dipenuhi panil relief yang terpahat rapi mulai kaki sampai ke dinding ruangan teratas. Hampir tidak terdapat bidang kosong, karena semua terisi aneka ragam hiasan dalam jalinan cerita yang mengandung unsur pelepasan kepergian. Menurut Dwi Cahyono, sejarawan Universitas Negeri Malang, sosok bertopi tekes di situ bukan bagian dari cerita Panji. "Itu cerita Kunjarakarna," katanya kepada Tempo. Suryadi, petugas Balai Arkeologi Candi Jago, mengatakan cerita Kunjarakarna belum diketemukan dalam sumber sejarah di luar Indonesia. Cerita Kunjarakarna Dharmakthana adalah kakawin besar nomor tiga dalam sastra Jawa Kuno.
Kisah Panji terpahat lebih jelas di Candi Kendalisodo di Bukit Bekel, Gunung Penanggungan, 1.659 meter di atas permukaan air laut. Di salah satu punden candi itu terdapat empat panil relief kisah Panji. Menurut Dwi Cahyono, relief itu mendeskripsikan Panji yang sedang menyucikan diri di tepi Telaga Pagar. Adegan diakhiri dengan Panji dan istrinya memainkan alat musik wina atau alat musik India. Di relief juga digambarkan dua punakawan yang sedang membawa alat musik. Sayang, relief kepala Panji itu telah hilang.
Nunuy Nurhayati, Bibin Bintariadi, Hari Tri Wasono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo