Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Syekh Abdurrauf al-Singkili melahirkan 22 karya tulis semasa hidup.
Karya Abdurrauf al-Singkili banyak digunakan komunitas muslim di berbagai negara.
Abdurrauf al-Singkili melahirkan kitab tafsir Al-Quran pertama dalam bahasa Melayu.
SALINAN manuskrip itu masih tersimpan di perpustakaan Ali Hasjmy, Banda Aceh. Meski terlihat lusuh, kondisinya cukup terawat. Gigitan rayap menggerogoti beberapa bagian halamannya. Berjudul Mir’atuttullab fi tashil ma’rifat al-Ahkam asy-Syariat li al-Malik al-Wahhab, salinan itu berisi percikan pemikiran Syekh Abdurrauf al-Singkili alias Syiah Kuala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kitab Mir’atuttullab berisi ketentuan fikih sosial yang mewarisi mazhab pemikiran Syafii. Penjaga perpustakaan Ali Hasjmy, Azhar, tak bisa memastikan siapa yang membuat salinan itu. Sejumlah sejarawan berpendapat, tulisan itu dibuat pada abad ke-17 dan ke-18 oleh murid Syiah Kuala. “Selama ini buku itu adalah acuan utama yang dipakai untuk keperluan penerjemahan ke bahasa lain,” kata Azhar pada Selasa, 12 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mir’atuttullab merupakan satu dari 22 karya tulis Syiah Kuala. Tulisannya menggunakan aksara Arab-Melayu. Sultanah Safiatuddin Syah meminta Syiah Kuala menyelesaikan kitab itu untuk dijadikan pedoman bermasyarakat. Tak kurang dari 71 topik persoalan diulas dalam buku itu. Bahasannya membentang dari aspek muamalah, politik, sosial, ekonomi, sampai keagamaan.
Azyumardi Azra dalam bukunya, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara, menyebutkan karya-karya Syiah Kuala tak lepas dari situasi Aceh saat itu. Terjadi kekacauan politik akibat beberapa wilayah kerajaan melepaskan diri. Kondisi itu diperparah oleh gesekan antara pengikut mazhab Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan Syekh Hamzah Fansuri, yang berujung pada saling bunuh antar-pengikutnya. Ratu Safiatuddin yang naik takhta menggantikan suaminya, Sultan Iskandar Tsani, juga kerap diserang kelompok fundamentalis yang mempertanyakan legitimasi agama terhadap kepemimpinan perempuan.
Salinan Kitab Mir’atuttullab fi tashil ma’rifat al-Ahkam asy-Syariat li al-Malik al-Wahhab di Universitas Syiah Kuala. TEMPO/Iil Askar Mondza
Dalam Mir’atuttullab, Syiah Kuala tak membahas masalah kepemimpinan perempuan secara gamblang. Ketika mengulas syarat-syarat seorang hakim, ia cenderung menghindari penerjemahan kata “dzakar” yang berarti laki-laki. Politik bahasa ini dianggap oleh Azyumardi sebagai cermin toleransi Syiah Kuala untuk tetap membuka ruang bagi kepemimpinan perempuan dalam Islam.
Sikap itu setidaknya terlihat dari pengabdian Syiah Kuala selama 59 tahun dalam empat periode kepemimpinan sultanah. Syiah Kuala diangkat sebagai Kadhi Malikul Adil, pemegang otoritas tertinggi di bidang hukum dan keagamaan, oleh Sri Ratu Taj’ul Alam Safiatuddin Syah, yang memerintah pada 1641-1675. Lalu berlanjut pada masa kepemimpinan Sultanah Sri Ratu Naqiatuddin Syah (1675-1678), Sultanah Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1678-1688), dan Ratu Keumalat Syah (1688-1699).
Menurut Azyumardi, Mir’atuttullab kerap dianggap sebagai mahakarya Syiah Kuala. Tak hanya beredar dan dipakai untuk masyarakat Aceh, tapi juga hingga mancanegara. Pada pertengahan abad ke-19, Lumaran, kompilasi hukum Islam yang digunakan komunitas muslim Maquidanao, Filipina, menjadikan kitab ini sebagai acuan utamanya. Kitab ini menunjukkan bahwa doktrin agama tak hanya menyangkut urusan ibadah, tapi juga seluruh aspek kehidupan.
Kedudukan penting Syiah Kuala dalam perkembangan Islam Nusantara juga diakui banyak kalangan lewat karya tafsir Al-Quran. Ia adalah alim ulama yang pertama kali menyuguhkan kitab tafsir secara lengkap dalam bahasa Melayu. Edisi cetak kitab berjudul Tarjuman Al-Mustafid itu juga terbit di Malaysia, Singapura, India, Timur Tengah, hingga Afrika Selatan.
Tarjuman Al-Mustafid diterima luas lantaran mampu menerjemahkan dan menyampaikan maksud suatu ayat secara sederhana. Menurut Azyumardi Azra, kitab tafsir itu pun digunakan secara massif selama hampir tiga abad. Komunitas muslim Melayu baru melahirkan kitab-kitab pembanding pada 1960-an. “Tapi itu tak membuat Tarjuman Al-Mustafid kehilangan daya tariknya,” ujar Azyumardi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo