MULANYA, orang Barat bersikap salah dalam memandang kesenian tradisional Afrika. Sampai awal abad ini mereka masih menyebutkan bahwa kesenian Afrika primitif adanya - dalam arti dibuat oleh kelompok manusia yang tidak mengenal emosinya sendiri, perasaan cintanya, bencinya, penghargaannya kepada alam, katakanlah masyarakat yang lugu. Mereka - orang Amerika dan Eropa - menilai bahwa kesenian tradisional Afrika tercipta tanpa aturan dan penggayaan, dan bahwa masyarakat Afrika tidak menjalankan aturan-aturan pribadi dan kelompok dalam hidup mereka. Memang, ini semacam manifestasi kecongkakan yang berakar pada paham kolonialisme. Dan sikap itu, menurut kesimpulan buku Great Ages of Man, African Kingdoms, juga didasari pengetahuan yang tidak mendalam tentang kehidupan benua besar itu. Tapi sikap ini berubah. Yakni, "Ketika pada tahun 1930-an para arkeolog, dalam penggalian mereka di situs kota tua Yoruba dan Ife di barat daya Nigeria, menemukan terakota dan patung-patung kepala yang menakjubkan," kata buku tadi. Patung-patung itu terbuat dari perunggu - sebuah produk teknologi tidak sederhana. Angela Fisher, yang tahun lalu berkeliling Afrika dan menuturkan laporannya dalam National Geographic bulan November, bilang, "Teknik pengecoran perunggu yang dilakukan para pandai besi Benin - kini Nigeria - merupakan hal yang tak terpisahkan dari karya-karya puncak Afrika." Untuk membuat patung, misalnya, lebih dulu dibuat modelnya dengan lilin. Patung lilin ini lantas dibungkus tanah liat. Lalu dipanaskan. Tentu saja lilin meleleh, dan tanah liat mengeras - maka terbentuklah cetakan. Ke dalam cetakan ini dituangkan cairan perunggu - adonan tembaga, kuningan, dan timah. Begitulah sebuah patung terwujud - dan cetakannya yang dibuat dari tanah liat itu diremukkan. Jadi, tidak ada proses cetak ulang. Teknik berkreasi seperti ini datang dari utara ke Afrika Barat pada awal abad ke-9, melalui jalur perdagangan yang melintasi Sahara. Ketika pada abad ke-15 kawanan orang Eropa berdatangan dan mendapat gagasan memperdagangkan loyang dan tembaga, teknik pengecoran itu meluas ke sisi barat benua hitam itu. Lihatlah contoh patung karya seniman Koulango, Pantai Gading: sebuah figur wanita hamil, imbauan pentingnya kesuburan, yang diduga hasil pengecoran abad ke-19. Atau sepotong wajah manusia yang menempel pada gelang. Ini hasil pengecoran perajin - yang sama saja dengan seniman - Nigeria, untuk para anggota aliran kepercayaan Ogboni yang tumbuh di antara warga Yoruba. Yang lain, gelang, dengan hiasan seekor laba-laba besar - diduga hasil pengecoran orang Senoufo atau Bobo. Cerita rakyat pada sebagian penduduk Afrika Barat menganggap bahwa laba-laba, seperti yang kemudian dituturkan Angela Fisher, "Bisa bicara, bertindak seperti manusia, dan memberi tahu bagaimana caranya orang menjadi kaya." Belakangan, kerajinan pengecoran yang istimewa itu melenyap dari Afrika Barat. Para senimannya, kata Angela pula, "Sudah tak sanggup lagi mempertahankan pekerjaan yang canggih itu sudah terlalu sibuk terlibat dalam usaha produksi masal barang kebutuhan turis yang lebih menguntungkan ." Barangkali kenyataan seperti itu wajar saja. Tapi barangkali juga menyedihkan - terutama kalau diingat bahwa bagi para penyembah berhala di Afrika, kata buku African Kingdoms, "Kesenian tak ubahnya sebagai liturgi orang Nasrani: sebuah pedoman upacara-upacara keagamaan yang berawal dari pengalaman rohani mereka." Bagian terbesar kesenian Afrika tak terlepas dari fungsi religi. Patung patung, tarian, musik, dentam tambur, dan nyanyian-nyanyian, semua diciptakan sebagai alat penggugah tenaga-tenaga alam yang memberi semangat hidup. Karya tradisional Afrika, seperti juga kepercayaan dan adat istiadatnya, merupakan produk suatu masa ketika keimanan sangat penting. Tak berbeda dari Abad Pertengahan Eropa - ketika banyak katedral dibangun dan musik untuk mengagungkan Tuhan digubah. Berdasarkan kenyataan itu, seni Afrika memiliki dua watak utama: bentuknya bervariasi, tapi bergaya konvensional. Keanekaan itu disebabkan kepercayaan dan upacara-upacara keagamaan di sana juga bermacam-macam. Sedangkan gaya konvensional disebabkan oleh anggapan bahwa seni adalah sarana ekspresi nilai nilai keabadian. Tradisi pembuatan patung di Afrika bermula dari Zaman Besi. Perkiraan ini timbul lantaran tak ada contoh kuat yang bisa ditunjuk sebagai bukti karya zaman sebelumnya - walaupun bayangan tentang pembuatan patung di Zaman Batu tampak pada lukisan-lukisan di batu karang Sahara. Pada 1940-an Bernard Fagg, arkeolog yang bekerja di Nigeria, mendapati sekumpulan patung kepala yang terbuat dari terakota - juga serpihan-serpihan wajah di sampah sisa penambangan timah. Benda-benda itu menyiratkan adanya keterampilan artistik dan penggayaan yang menakjubkan. Di masa terakhir ini semua penemuan itu dikumpulkan di sebuah museum di jos, Nigeria Tengah, dan diteliti lagi secara lebih sistematis. Berdasarkan tes arkeologi, identitas benda-benda itu diketahui: karya-karya 500 tahun Sebelum Masehi. Itu merupakan hasil kebudayaan Nok - nama dusun tempat ditemukannya. Dan, berdasarkan studi dan tes arkeologi, dari situ terungkap dua hal penting. Satu: kebudayaan Nok kemungkinan besar merupakan wujud bermulanya Zaman Besi di Afrika Barat - figur-figur wajah yang terpotong-potong itu umumnya ditemukan bersama perkakas pandai besi dalam bentuknya yang paling awal. Dua: masyarakat pendukung kebudayaan Nok secara kultural merupakan leluhur orang Yoruba yang menghasilkan patung-patung Ife beberapa abad kemudian. * * * Patung Afrika memang paling gampang dan banyak dilihat oleh kalangan non Afrika. Sehingga mereka beranggapan bahwa kesenian tradisional Afrika yang paling kuat adalah patung. Padahal, bagi orang Afrika sendiri kesenian yang paling utama adalah tari. Sebab, pada mereka, tarian telah menjadi penggerak dua poros kehidupan: agama dan hubungan antarmanusla. Tarian sering merupakan sebuah upacara: tanda dimulainya perburuan binatang, tanda akhir masa panen, perwujudan dari peringatan kelahlran, upacara seseorang yang memasuki masa puber, atau yang kawin, atau yang mati. Bisa juga | orang menari untuk memperingati hari besar atau memuja dewa atau roh roh pelindung desa. Selain itu, ada pula tarian sekadar untuk keriaan. Untuk acara yang tidak esoteris ini biasanya segenap warga sebuah desa terlibat. Laki - laki, perempuan, bahkan anak-anak kecil - yang menghentak-hentak di pinggiran lingkaran orang dewasa, bak sekumpulan gabus terombang-ambing air pasang bergerak dan samasama bereaksi dalam irama yang membakar seluruh nadi. Tambur dan genderang adalah apinya. Pada saat menjalankan semua kegiatan itu, orang-orang merasa perlu - wajib - menghias diri. Di Ghana, contohnya, di kalangan suku Ashanti. Ketika rajanya terbaring di ranjang menghadapi ajal, ia biasanya minta dikerumuni sejumlah istrinya. Dan pada saat penguburan jenazahnya, para istri itu menyelaputi tubuh dengan seabrek perhiasan emas serta menenggak minuman sampai lupa diri. Lalu mereka dicekik - dan, dalam suasana ritual yang mencekam, dikuburkan bersama sang raja. Tapi itu zaman dulu. Di zaman modern, walaupun sudah tidak mencekam dan sadistis begitu, para wanitanya tetap berpakaian komplet: dibelit kain putih plus setumpuk perhiasan. Untuk mengenakan seluruh perhiasan itu, waktu yang diperlukan paling tidak sehari. Dan, karena tidak ada raja lagi, upacara ini sekarang diperuntukkan bagi para tokoh berkedudukan tinggi. Nah. Gairah orang Afrika berhias seperti itu telah menghasilkan sebuah corak seni dekoratif yang didukung keterampilan piawai. "Dalam perjalanan saya menyusuri panjang dan mencapai lebar benua ini, saya mendapatkan bahwa seni dekoratif di sana memiliki variasi yang tak kepalang tanggung," tutur Angela. "Itu dibumbui oleh pengaruh berbagai kebudayaan dan oleh keluwesan orang Afrika memanfaatkan benda-benda." Di Afrika Barat, di daerah penambangan emas, para seniman banyak menggunakan logam mulia itu. Sementara itu, suku Samburu dan Pokot di Kenya mengembangkan ide-ide mereka tentang dandanan itu lewat kulit dan tanaman berserabut, yang banyak didapatkan di sana. Itu kadang-kadang dikombinasikan dengan kawat telegram dan selongsong peluru - sungguh, kedua benda terakhir itu mereka manfaatkan. Tapi sarana ekspresi paling umum dan penuh warna adalah tasbih beling, yang sebagian besar berasal dari Venesia abad ke-16. Tasbih-tasbih yang harganya tinggi ini dulu tak jarang dijadikan alat tukar - oleh orang putih - untuk mendapatkan budak belian. Seuntai tasbih yang dianggap istimewa bisa ditebus dengan tujuh budak laki-laki yang tanpa cacat. Yang paling banyak menggunakan untaian tasbih adalah suku Dinka. Suku ini hidup terutama dengan beternak. Mereka berjumlah hampir satu juta jiwa dan menempati kawasan paya yang paling lebar di dunia, di selatan Sudan. Seperti laiknya bangsa kembara, warga Dinka mengungkapkan bahasa keindahan mereka langsung ke badan sendiri-sendiri - bukan ke rumah yang hanya seadanya atau ke harta milik yang tak seberapa. Lihatlah untai tasbih yang melingkari tubuh wanita sebagian kelompok suku Dinka. Itu bentuk primer gaya dekorasi mereka. Juga tasbih pada korset ketat yang dikenakan para prianya. Wanita yang lewat 17 tahun, di kalangan suku ini berhak menikah. Dan warna serta pola "baju" tasbih mereka itu menunjukkan kekayaan keluarganya. Sedangkan kepingan kulit kerang - yang dulu dipakai sebagai alat tukar melamba-ngkan kesuburan. Seterusnya, goresan di jidat mereka adalah simbol tanduk lembu peliharaan - orang Dinka menganggap ini make-up untuk kecantikan. Lalu warna korset yang dikenakan laki-laki. Itu menunjukkan umur pemakainya. Merah dan hitam untuk kelompok usia 15-25. Jingga dan kesumba bagi yang 25-30, sedangkan yang 30 tahun lebih mengenakan banyak warna kuning. Pada saat seseorang memasuki kelompok umur di atasnya, korset yang ketat itu dipotong. "Korset bekas pakai dijahit kembali, lantas dihibahkan ke para saudara yang lebih muda. Harga sebuahnya sama dengan seekor lembu," tutur Angela. Mereka menyebut diri mereka Monyjang, yang artinya laki-lakinya lelaki". Tinggi tubuh orang-orang ini agak kelewatan - banyak yang lebih dari enam kaki. Ditambah kekuatan fisik dan kebiasaan mereka mengecat badan - dengan menggunakan abu - pemunculan mereka menyebabkan para pengelana Barat di abad ke-19 menyebut mereka hantu raksasa. Adapun orang Masai, Kenya, punya cara lain dalam menampilkan kejantanan. Yaitu mengenakan bulu tengkuk singa yang bisa dibunuhnya. Bocah 14 tahun pun berhak untuk itu, asal saja sanggup membantai singa. Setiap tujuh tahun ada upacara kenaikan status: menjadi anggota suku yang dewasa. Caranya: seorang kandidat mencoreng-coreng tubuh mereka dengan kapur dari batu karang suci, dan mengenakan tudung bulu singa untuk terakhir kali. Pola coretan di badan menunjukkan taraf keberanian masing-masing. * * * Kembali bicara mengenai jenis materi yang dipakai sebagai sarana mengungkapkan keindahan, kita mulai dari Mali dan Pantai Gading. Di kedua kawasan ini karya seni para perajin emas tumbuh berbunga-bunga. Sebuah anting-anting emas raksasa hasil tempaan tangan tak jarang menggayuti telinga wanita Fulani, Mali. Harga sebuahnya sama dengan 20 kepala lembu - atau 3.000 dolar AS. Para wanita yang mengenakan ini memang sengaja untuk menunjukkan status dan kehebatan mereka. Di Pantai Gading bisa didapati model anting-anting besar yang lain. Juga lempengan-lempengan dengan desain geometris. Kedua benda ini dibikin para seniman Baoule, dengan teknik pengecoran yang tak bisa dikopi. Sebuah karya unggulan dari Baoule yang lain adalah anting-anting bundar yang dicetak halus benar. Pada benda perhiasan itu tampil hiasan dua ekor kerbau, dua burung, dan seekor ular - binatang-binatang yang, bagi orang Baoule, kaya makna. Bicara mengenai barang perhiasan perak, kita sebaiknya mengikuti Angela Fisher ke Marokko, Etiopia, dan Nigeria. Sebenarnya hasil perak di kawasan ini tidak mencukupi kebutuhan sendiri. Maka, untuk berseni-seni, orang-orang Afrika itu sudah sejak dulu mengimpor perak - logam sumber inspirasi yang tak habis-habisnya. Atau, kadang-kadang, mereka tak jauh-jauh mencari bahan baku. Uang kepengan langsung mereka mainkan, dirakit menjadi sebuah perhiasan. Lihatlah, misalnya, dua wanita Berber, Marokko, yang mengenakan tudung kepala terbuat dari rentengan uang logam. Ada juga seniman yang melebur uang perak dan membuatnya menjadi gelang engsel yang lazim dikenakan para wanita Oromo, dataran tinggi Etiopia Tengah. Masih di Etiopia, koin Austria bergambar Maria Theresia - mengandung kadar perak 83% - langsung bisa dijadikan hiasan tersendiri. Kadangkadang koin itu diiris-iris menjadi sebuah rosario, kegemaran penganut Kristen di sana. Orang Tuareg meleburnya dan mencetak kembali menjadi salib yang sesuai dengan selera mereka. Ini di Nigeria. Di Marokko, ada yang membuatnya menjadi anting-anting dan diberi nama "Sentuhan Fatimah". Etiopia, bersama Mali, juga tempat berkembangnya untaian butir amber yang anggun. Amber, hasil proses pemfosilan damar pohon pinus dan pohon jenis paku pakuan lain, selama berabad-abad telah didatangkan dari Eropa - melintasi kawasan Mediterania ke Afrika Barat, dan menukik sampai Etiopia. Di Zaman Pertengahan, orang Eropa sangat menghargai amber tidak hanya karena keindahannya, tapi juga lantaran benda ini bisa dimanfaatkan untuk pengobatan. Di Afrika amber juga dianggap bisa melindungi seseorang dari serangan guna-guna, sihir, dan pengaruh jahat lain. Banyak yang percaya bahwa mengenakan kalung (yang ketat) terbuat dari amber bisa menghindari demam, karena butirannya akan menyerap panas di siang hari dan menyimpan panas itu untuk malam yang dingin. Bagi para wanita Afrika, barisan butiran amber lebih memikat karena kecantikannya. Mereka mengenakannya dalam berbagai gaya, yang disesuaikan dengan latar belakang dan status masing-masing. Perempuan Fulani yang rambutnya diikat untaian koin dan tasbih butiran amber kecil ingin menunjukkan bahwa mereka belum kawin, dan termasuk dalam keluarga kembara. Pada yang sudah menikah, sanggul dililit butiran amber besar, ditambah anting-anting emas di telinga. * * * Tempat bersemaraknya warna-warni dalam seni dekoratif Afrika adalah Marokko dan Aljazair. Para seniman Kabyle, Aljazair Utara, membuat tabzimt anting-anting yang tersusun dari tatahan batu koral, perak, dan enamel, yang terpadu dalam warnawarna sistem cahaya matahari. Jika tabzimt oleh seorang wanita Kabyle dikenakan pada leher, maka barang itu statusnya mahar alias emas kawin. Sedangkan kalau dilekatkan di ubun-ubun, itu tanda kelahiran anak laki-laki pertama. Para wanita Pegunungan Atlas Tinggi Marokko mengenakan kerudung yang melingkari wajah. Yang begini merupakan aba-aba, buat para lelaki yang mencari jodoh di sebuah acara festival, bahwa sang gadis bersedia disunting. Wanita yang berdatangan ke festival itu ada juga yang mengenakan kerudung tinggi tanda bahwa mereka janda atau habis cerai, dan menerima segala permintaan kawin cepat tanpa prosedur rundingan antar orangtua lebih dulu. Pokoknya, berdamai. Dalam soal kawin-mengawin, yang berlaku pada suku Rendille, Kenya, lain lagi. Maharnya berupa ban leher - yang terbuat dari rajutan serat palem yang dijalin dengan cita warna merah oker. Besar kecilnya ban menunjukkan status wanita pemakainya dan, sekaligus, laki-laki yang memberikannya: makin besar, makin tinggi. Pada masa silam, ketika gajah banyak terdapat di kawasan Rendille, ban leher dibikin dari rambut gajah. Pada kelahiran anak laki-laki yang pertama, wanita Rendille mengelem rambutnya dengan lumpur dan lemak binatang supaya bisa dibentuk menjadi semacam jengger. Potongan punk rock ini ia pertahankan sampai anaknya disunat - kecuali ada saudara laki-lakinya yang meninggal. Untuk melengkapi rambut punk itu, dikenakan ban lengan dan gelang-gelang kuningan serta lingkaran kawat besi barang Eropa yang terlibat. Kata Angela Fisher, "Penampilan resmi itu tetap dijaga - bahkan ketika mereka ke mata air di pojok-pojok Kenya yang senyap." Adapun orang yang berponi menegang ke depan - yang dibentuk dengan sisal, cita, dan lemak - seperti kelep peci itu, itulah prajurit Samburu. * * * Cerita mengenai keindahan ragam hias Afrika tentu belum komplet kalau tidak menyinggung kemahiran mereka mengukir gading. Selama ribuan tahun, seniman Afrika terkenal piawai dalam menciptakan ragam hias dengan sisa gajah ini. Dan nilai karya-karya itu tidak saja terletak pada wujudnya yang cantik, tetapi juga pada legendanya: benda-benda itu memiliki tenaga gaib untuk pengobatan, perlindungan, serta persembahan kepada dewa dan roh leluhur. Giwang gadis-gadis Dinka, Sudan, terbuat dari gading yang ditoreh. Pola torehan adalah sebuah bintik dalam lingkaran - ini simbol umum yang menggambarkan kewaspadaan, untuk menolak bala. Contoh lain kemahiran mengolah gading itu bisa dilihat dalam gambar-gambar di sini. Sebagian besarnya berasal dari abad ke-19, dan telah dirumahkan dalam koleksi-koleksi pribadi dan di museum-museum di benua lain: Amerika dan Eropa. Tusuk konde dari gading, yang dibuat para perajin Mangbetu dan Azande, Zaire, panjangnya ada yang sampai 14,5 inci - membuktikan adanya gaya dan model potongan rambut yang canggih di sana. Ada untaian kalung yang butirannya meniru bentuk taring macan kumbang. Ini diukir oleh orang-orang Songye, kini Zaire. Gambar manusia pada salah satu mata kalung itu menunjukkan leluhur pemiliknya. Gelang-gelang gading dari Songye dilapisi pula dengan butiran timah. Sebuah karya unggulan yang tak ternilai harganya, sebuah ornamen gading yang berbentuk wajah orang, dulunya milik oba, atau raja, di Benin Kuno, Afrika Barat. Celah di bagian dahi menunjukkan kegentaran menghadapi peperangan, dan figur kecil-kecil di seputar kepala menggambarkan para pedagang Portugis. Dari Owo, Nigeria, ada gelang abad ke-19 yang terbuat dari sebongkah gading utuh. Ukirannya ditatah melingkar dalam desain yang berkesinambungan. * * * Sekarang kita melihat ragam hias yang diekspresikan dengan memanfaatkan benda benda modern - misalnya kabel telepon. Ini sebuah corak baru. "Kecantikan yang bersumber pada panci dan kawat ini," kata Angela Fisher, "menonjol di Kenya dan Nigeria." Sekumpulan orang Kenya bagian utara seolah-olah gatal melihat kawat telepon dan telegram. Bahkan, para perajin yang banyak akal itu dengan lihainya memanfatkan panci aluminium untuk menyemarakkan selera berdandan mereka. Coba lihat wanita Pokot. Perhiasan yang dipakainya adalah anting-anting kawat kuningan dan steker bibir aluminium, dipadu dengan setumpuk kalung manik. Bisa saja ia melengkapinya dengan gelang kawat dan anting-anting - yang juga hanya kumparan kawat - khas karya seniman mereka. Ikat pinggang, yang dulu terbuat dari untaian tulang jari kaki kijang bertanduk, kini ditambah dengan kepingan-kepingan aluminium - sobekan dari panci bekas barangkali. Dengan sedikit rasa humor, pria-pria Wodaabe, Niger, membubuhi selera artist ik mereka dengan kepala kunci kopor. Ini dipakai sebagai bandul kalung. Dan penampilan paling mutakhir yang tak boleh diabaikan adalah sepasang kaca antimatahari yang modern - yang dikombinasikan dengan potongan kuningan dan kulit kerang. Ini memang selera asli mereka -bukan tiruan punk rock yang dibikin-bikin itu. Malah sebaliknya. Sebenarnya sulit memotret tampang-tampang Afrika yang berjumbai-jumbai - dan seronok, setidaknya kata mereka sendiri. Banyak orang Afrika yang masih percaya, jika wajah mereka direkam dalam foto, sama artinya dengan roh mereka yang terjerat atau kekuatan mereka yang tercuri. Mereka curiga bahkan gentar terhadap kamera. "Sebagian dari mereka ada juga yang mafhum bahwa kamera bisa berarti uang. Lebih dari sekali saya dimintai bayaran sehabis memotret," tutur Angela. Kesempatan itu lalu dipakai Angela untuk menampilkan lima wanita yang dianggap mewakili selera kecantikan berbagai kultur benua itu. Wanita Toposa, Sudan, menusuk bibir bawahnya dengan kawat kuningan - dan meminyaki rambutnya dengan lemak - sebagai tanda sudah menjadi istri orang. Goresan di pipinya, dan kalung besi yang melilit leher, merupakan acara pelengkap resepsi pernikahannya. Memamerkan kekayaan suaminya, wanita Haratin, Marokko bagian selatan, menumpuk seluruh simpanan perhiasannya di kepala sendiri. Sebagai keturunan campuran Berber dan Negroid, para wanita Haratin merasa tidak pantas jika tidak berdandan begitu - bahkan ketika harus berkubang lumpur di ladang bercocok tanam. Sebuah tudung, atau burga, yang dibordir indah dan diperkaya dengan kancing-kancing dan anting-anting, merupakan barang wajib bagi para gadis muda Rashaida, Sudan. Tafsiran mereka terhadap hukum Islam adalah bahwa seorang gadis mulai umur lima tahun harus berkerudung - bahkan pada saat makan. Jilbab eh, kudung - boleh dibuka hanya dalam suasana yang benar-benar pribadi. Sebaliknya, wanita Wodaabe, Nigeria, mempercantik dirinya dengan menato wajah dan menggantungkan setumpuk anting-anting di kuping. Tato segitiga di sebelah mulut, selain berfungsi sebagai cara mempercantik diri, juga untuk melawan makhluk-makhluk jahat. Yang tidak membenamkan wajah dalam perhiasan tampaknya diwakili istri seorang Podokwo, Kamerun. Kepalanya hanya dililiti untaian tasbih dengan rapi, ditambah sebatang mahkota yang terbuat dari bulu luwak. Kalung yang melingkari lehernya hanya seuntai - terbuat dari gigi macan tutul. * * * Semua cerita di atas melulu tentang menghias diri. Bagaimana dengan selera artistik mereka terhadap barang sehari-hari, misalnya rumah? Untuk ini, yang paling layak diungkapkan rupanya hanya rumah anggota suku Bamileke, Kamerun bagian barat. Selain mendadani badan sendiri, orang di kawasan ini memang juga ahli dalam bidang arsitektur. Sebuah rumah raja di Bandjoun ditopang tiang-tiang kayu yang pejal. Gaya ukirannya menggambarkan kemegahan masa lalu. Lempengan anyaman bambu disusun dalam desain geometris. Kata Angela Fisher,penghuninya yang paling akhir, Kamgall, memiliki selusin istri dan lebih dari 250 anak. Sayang, tak ada ukuran yang terinci tentang bangunan ini dari Angela. Lelaki yang berdiri di dekat tiang rumah (dalam foto pada artikel ini) adalah anggota-Serikat Topeng Gajah, perkumpulan tokoh-tokoh berkedudukan tinggi di Bamileke. Pakaian kebesaran yang ia kenakan terdiri dari caping lebar (terbuat dari bulu burung nuri) dan sebuah untaian manik-manik yang meniru bentuk belalai gajah. Angela Fisher, setelah tujuh tahun mengadakan studi di sana, akhirnya berkesimpulan. "Bahwa pemerintahan baru yang belakangan ini bermunculan lebih merupakan penghalang daripada penyelamat kebudayaan itu," tulisnya. Dengan nada menghina, mereka menyebut kebudayaan itu primitif. Sebagian karena sikap seperti itu, banyak tradisi lama melenyap begitu saja. Foto-foto dalam tulisan ini adalah rekaman dari yang terbaik dan masih ada sepotong gambaran dari sebuah benua yang memendam semangat kreasi yang menakjubkan, tapi yang kini terancam punah. Atau, ini barangkali sebuah ratapan Barat. Tapi apa salahnya?